Senin, 21 Mei 2012

Berfikir Positif

Selalu berpikir positif atau positive thinking, itulah salah satu tips agar  tulisan kita lebih mudah dimuat di media cetak.   Sebagai penulis tentu kita dituntut untuk bisa beropini yang sehat, cerdas, dan konstruktif, sehingga dapat memberi solusi dan pencerahan bagi tatanan kehidupan masyarakat.
Salah satu tips menulis yang penulis lakukan, hendaknya tidak langsung apriori (buruk sangka) terhadap suatu kasus yang terjadi di masyarakat.  Dibalik sisi negatif, pasti tersembunyi aspek keunggulan berupa sisi manfaat yang bisa digali untuk mencerahkan publik.   Hal ini merupakan garapan yang dinilai menarik oleh Redaksi suatu media sehingga berkenan memuatnya.
Sebagai  contoh tentang “Liburan Sekolah”.                      
Liburan long week end “identik” dengan acara santai-santai atau bermalas-malasan/mengganggurkan diri dan ajang pemborosan anggaran rumah tangga.  Bila penulis bermindset negatif seperti itu, sulit artikel kita dimuat.
Akan tetapi, bila sebuah liburan dimaknai positif seperti: (a) bermanfaat dalam mengendurkan ketegangan sehingga dengan relaksasi membuat semangat bekerja berlipat ganda; (b) merajut kehangatan dengan keluarga, suatu hal amat sulit dilakukan di masa sekarang ini; atau  (c) mengisi dengan liburan yang edukatif, bisa tempat tertentu seperti: outbon, menonton bioskop, ke lokasi wisata atau yang  murah meriah bagi anak-anak, seperti:   berkunjung ke lokasi petani atau industri kecil, bersih-bersih rumah  atau jogging bersama; tentu ini amat positif dalam memaknai liburan, sehingga faktor dana dan waktu berapa pun yang terpakai, tidak menjadi soal selama liburan memberi dimensi kualitas dan berkesan, bukan?
Tips ini amat mujarab,  meski kupasannya berbahasa sederhana, tidak ilmiah banget, tetapi mampu membuat Redaksi Kompas memuatnya di media cetak,  1 Juli 2009. Klik  http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/06/09/memaknai-liburan
Contoh kedua, permainan layang-layang.
Bila yang digali hanya bayangan kecemasan dan kekhawatiran bahayanya anak terperosok, tertabrak atau tersengat aliran listrik, dan menganggap permainan layang-layang tidak dibutuhkan lagi oleh  anak-anak generasi sekarang, media cetak sulit menempatkan artikel bertema seperti  ini.

Tetapi bila dimaknai secara positif, seperti: Permainan layang-layang,  sesungguhnya melatih fisik anak  lebih tangkas dan lincah dengan  berlari dan mengejar layang-layang putus.  Ini amat berguna untuk mereduksi gejala penyakit hipokinetik, timbul akibat gaya hidup statis tren anak-anak masa kini.   Begitu pun nilai-nilai kolektivitas pun di kalangan sebaya  terbangun seperti:  menghormati aturan di kalangan mereka, menghukum yang berbuat curang,  dan sikap kebersamaan lain, seperti: ikut memasangkan tali timba, membantu membawa golongan benang, atau tukar-menukar gelasan, dan lain-lain.
Sedangkan bermain di ruang terbuka, anak-anak leluasa untuk berteriak secara spontan, selain berguna  melekatkan jiwa korsa  secara emosional, juga menjadi  sarana  interaksi sosial, pelega emosi dan penyingkap bawah sadar mereka mengeluarkan unek-unek hatinya.  Pendeknya, mereka bisa menikmati masa anak-anak dengan suka cita.  Dan pemberian solusi bijak bagi mereka dibutuhkan agar hobi mereka tidak tersumbat, permainan tetap bisa dinikmati tanpa  membahayakan dirinya.
Artikel  sederhana di atas dapat  ditayangkan di media  Kompas, 15 Nov 2008. 
Yuk, berpikir positif atau husnudzon billah, karena Alloh bersama persangkaan hambanya, bukan?

(WIRAWATI/11103763/11.4a.14)

Tidak ada komentar: