Pendidikan kita juga terperangkap dalam keyakinan
keliru, seolah-olah makin banyak mata ajaran yang dikuasai semakin terdidik
seseorang. Kenyataan itu merupakan materialisme dikdaktis yang harus segera
dihentikan. Lebih ironis lagi, pendidikan yang materialistis itu bersifat
komersial. Tak berlebihan bila istilah penyelenggara sekolah kini sudah dapat
diubah menjadi pengusaha sekolah.
Pendidikan
memang membutuhkan biaya besar, tetapi biaya itu tidak perlu seluruhnya
dibebankan kepada murid (orang tua/wali). Pemerintah sebagai pengayom
masyarakat harus menjalankan asas subsidiaritas. Jika tidak, makin banyak anak
jalanan, anak fakir miskin, anak telantar. Kecen-derungan itu tidak boleh
diabaikan oleh masyarakat dan pemerintah.
Sebaiknya
pendidikan dan persekolahan wajib dibebaskan dari etatisme (pengaruh dan
pengaturan pemerintah yang berlebihan). Pendidikan juga perlu dibebaskan dari
sentralisme (penyeragaman). Harus ada variasi kurikulum, serta dikembangkan
otonomi pengelolaan pendidikan di berbagai kawasan. Otoritas ini memiliki
wewenang penuh untuk mengatur pendidikan di wilayahnya.
Persepsi
Keliru tentang Pendidikan
Ada tiga
persepsi yang kurang benar tentang pendidikan. Pertama, pendidikan hanya
terjadi di sekolah. Kedua, tugas sekolah ialah mengajarkan pengetahuan. Ketiga,
sekolah harus membuat siswa menjadi “manusia siap pakai”.
Akibat
negatif dari kesalahan pertama, pengetahuan tentang pendidikan keluarga tidak
berkembang. Sistem pendidikan nonformal tidak berkembang dan kemampuan bangsa
untuk belajar dari situasi pendidikan nonformal menjadi rendah.
Sedangkan
dampak kesalahan kedua, kemampuan siswa yang rendah untuk mempergunakan
pengetahuan sebagai alat berpikir dan alat untuk memahami serta memecahkan
masalah. Kepekaan siswa terhadap nilai-nilai terhadap norma juga sangat rendah,
baik norma estetis maupun norma synnoetis (norma kehidupan sosial), atau pun
norma etis.
Kesalahan
ketiga berakibat lulusan sekolah tidak cukup menguasai konsep-konsep dasar.
Mereka terpaku kepada keterampilan yang bersifat terapan. Selain itu, tenaga
kerja menjadi kurang retrainable. Persepsi yang sebaiknya, adalah bahwa
pendidikan terjadi sebelum anak masuk sekolah dan sesudah anak tamat sekolah.
Sekolah hanya suatu mata rantai dari suatu kegiatan nyata pendidikan yang luas,
dinamis dan saling ber-sambungan. Tugas sekolah ialah mempersiapkan anak untuk
mengarungi kehidupan, bukan hanya membuat siswa menjadi siap pakai. Untuk itu,
tugas pokok sekolah bukan sekadar mengajarkan pengetahuan, melainkan me-mupuk
kepekaan terhadap nilai-nilai.
Konsekuensinya,
sekolah harus tahu jenis pendidikan yang telah dilalui anak di keluarga dan
menilainya sejauh mana pendidikan keluarga itu dapat dipergunakan sebagai
landasan untuk menyusun program pendidikan sekolah. Sekolah juga harus
membimbing anak untuk menguasai kemampuan belajar, baik untuk situasi
pendidikan formal, maupun situasi pendidikan nonformal dan informal. Tugas
sekolah adalah melahirkan generasi yang menjadi bagian dari bangsa yang pandai
belajar.
Kurikulum
Padat, Kreativitas Anak Terabaikan
Para guru
sebenarnya menyadari bahwa pelajaran yang memberi kesempatan mengembangkan
kreativitas, sangat dibutuhkan anak. Akan tetapi mereka umumnya tidak tahu
harus berbuat apa dan bagaimana mengatasi keadaan itu. Kesulitan mereka
terutama karena padatnya kurikulum pendidikan sehingga kreativitas anak
terabaikan.
Fakta
menunjukkan minimnya waktu dan pelajaran yang bersifat untuk mengembangkan
kreativitas pada sekolah formal, padahal di sisi lain menurut upaya memunculkan
pribadi kreatif sangat dibutuhkan bagi anak dalam kehidupannya. Dengan
demikian, para guru memiliki kesulitan bagaimana menanamkan dan menumbuhkan
jiwa kreativitas kepada anak.
Diperlukan
adanya pelatihan bagi guru dan penerbitan buku mengenai kreativitas, sebab guru
pun membutuhkan tuntunan. Beberapa sekolah yang secara finansial memadai kini
memang sudah mempunyai tenaga psikolog sosial dan lainnya, tetapi psikolog
pendidikan belum ada, yang mendampingi para guru dan khususnya guru Bimbingan
Konseling dalam membina siswa di sekolah. Namun sekolah-sekolah lainnya belum mampu
ke arah rekruitmen seperti itu.
Dapat
mengerti betapa sulitnya posisi guru, karena kurikulum pendidikan dasar dan
menengah saat ini memang sangat luas. Tentu mereka tak memiliki waktu lagi
untuk mengasah kreativitas siswa. Selain waktu, kreativitas membutuhkan ruang.
“Bagaimana mungkin bisa dilakukan guru jika di ruang kelas diisi 40 atau lebih
anak?”
Hargai
Perbedaan
Untuk bisa
menanamkan kreativitas pada siswa, mestinya kurikulum memfokuskan pada hal
dasar dan esensial, sehingga cukup waktu untuk mengasah kreativitas. Di luar
itu harus pula diperhatikan, harus ada kurikulum yang berbeda karena anak
memiliki perbedaan bakat dan minat.
Terdapat
jalan agar siswa mendapat kesempatan mengasah daya kreativitasnya, yakni dengan
meluangkan waktu untuk keperluan itu. Anak-anak jangan didesak untuk menerima
hafalan yang sebenarnya tak menambah kecerdasannya. Dalam memberikan soal
hendaknya jangan memberi peluang untuk satu jawaban saja. Guru dapat membuat
pertanyaan yang menuntut pemikiran banyak gagasan dan janganlah membuat
semuanya serba seragam, karena setiap anak memiliki pribadi berbeda. Upaya itu
akan menumbuhkan hasil berupa kelancaran dalam berpikir.
Di mata
penulis, pendidikan dalam arti yang luas memegang peranan yang sangat strategis
bagi setiap masyarakat dan kebudayaan. Bahkan kualitas suatu bangsa dapat
diukur dari sejauh mana kualitas pendidikan yang diberlakukan. Jelaslah bangsa
yang mempunyai pendidikan yang berkualitas akan mampu pula menyediakan sumber
daya manusia yang berkualitas secara menyeluruh. Lebih lanjut penulis
mengatakan, pendidikan tidak hanya sebagai wadah bagi penyiapan SDM bermutu,
melainkan juga menjadi wadah bagi pemberdayaan masyarakat warga.
Di mana
letak peranan pendidikan sebagai wadah pemberdayaan masyarakat madani itu?
Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan
yang mengakui hak-hak serta kewajiban perorangan dalam masyarakat. Sebab, dalam
suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban merupakan batu landasan
dari masyarakat. Masyarakat demokrasi hanya ada apabila hak-hak dan kewajiban
warga negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati.
Sudah barang
tentu proses pendidikan dalam masyarakat demokratis mengakui adanya identitas
masyarakat atau bangsa yang berbudaya. Dan pengembangan pribadi di dalam
masyarakat yang berbudaya, baik lokal maupun nasional tidak terelakkan lagi
dalam kehidupan global abad ke-21.
Di benak
penulis, dalam interaksi antara perkembangan kepribadian dengan kebudayaannya, proses
pengembangan pribadi manusia lebih mendasar, karena bukan sekadar menyerap
unsur-unsur kebudayaan secara pasif, tetapi manusia itu merupakan makhluk yang
dinamis. Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa, dan rasa secara
keseluruhan merupakan sumber bagi perkembangan masyarakat warga. Di dalam
proses yang dinamis itu terjadilah proses hominisasi dan proses humanisasi yang
justru menjadi titik pijak bagi pemberdayaan civil society.
Apa yang
diperlukan dalam membangun masyarakat madani Indonesia melalui pendidikan?
Penulis mengatakan, untuk mengupayakan civil society, beberapa paradigma baru
dalam pendidikan diperlukan. Paradigma baru itu adalah pendidikan, dari, oleh,
dan bersama-sama masyarakat.
Pendidikan
dari masyarakat artinya pendidikan haruslah mampu memberikan jawaban kepada
kebutuhan masyarakat itu. Jadi, pendidikan bukan dituangkan dari atas, dari
kepentingan pemerintah semata-mata, apalagi dari penguasa; tetapi pendidikan
yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri dengan nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat itu sendiri.
Unsur-unsur
budaya lokal itu seharusnya dikaji dan dikembangkan dalam pendidikan sehingga
dapat memberikan sumbangan besar bagi terwujudnya masyarakat madani yang
berdaya. Di sini tugas pendidikan nasional bukan hanya sekadar menghayati dan
mengembangkan kebudayaan lokal tetapi juga ikut membangun kebudayaan nasional
itu.
Paradigma
berikut adalah proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses
humanisasi. Pendidikan dalam pengertian ini perlu dijadikan upaya mengembangkan
manusia sebagai makhluk hidup, dan makhluk yang mampu bertanggung jawab
terhadap diri sendiri maupun terhadap kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu
kesempatan untuk belajar bertanggung jawab mengenal dan menghayati serta melaksanakan
nilai-nilai moral perlu ditumbuhkembangkan dalam pendidikan. Terkait dengan itu
relevanlah budaya demokrasi dihidupkan dalam seluruh proses belajar mengajar.
Dengan budaya seperti itu jiwa demokrasi akan tumbuh dan berkembang secara
baik.
Selain tiga
paradigma di atas, desentralisasi manajemen pendidikan menjadi keharusan demi
pemberdayaan masyarakat warga. Penulis menganalisis bahwa kesalahan yang
terjadi dalam pemerintahan Orde Baru adalah pemberlakuan sistem dan praksis
pendidikan nasional yang sifatnya sentralistik.
Model
seperti itu sama sekali tidak bisa mengembangkan dan menumbuhkan
potensi-potensi yang ada di dalam masyarakat, khususnya pengelola pendidikan.
Dengan kata lain, sentralistik justru bertentangan dengan hakikat masyarakat
madani. Atau tegasnya, hal itu memperlihatkan ketidakpercayaan pemerintah pada
kemampuan rakyat sendiri.
Kini sudah
waktunya memberlakukan sistem desentralisasi manajemen dalam pendidikan. Ini
penting, karena desentralisasi memiliki sejumlah dampak positif, antara lain
mengembangkan kebudayaan lokal, mengem-bangkan kebudayaan nasional sebagai
benteng pertahanan menyaring pengaruh-pengaruh kebudayaan global yang negatif,
serta akan mampu mengembangkan inisiatif untuk bereksperimen dan bersaing dalam
pengembangan mutu pendidikan nasional menghadapi persaingan global, serta akan
meningkatkan peran masyarakat swasta untuk mengembangkan ciri khasnya sebagai
sumbangan bagi pemberdayaan civil society.
Dapat
disimpulkan bahwa pendidikan, kebudayaan, dan masyarakat warga merupakan
elemen-elemen yang terkait dalam tatanan kehidupan bersama. Perhatian yang
seimbang atas ketiga unsur itu dalam praksis pendidikan akan mampu menumbuhkan
orang-orang yang berdaya dalam masyarakat.
Penutup
Semakin
jelas kini betapa persoalan terberat bangsa Indonesia adalah ketiadaan lembaga
kemasyarakatan (society institution) yang real. Pada banyak realitas sosial,
hegemoni state seperti gurita yang terus saja membelit kehidupan warga
masyarakat. Hal tersebut berlangsung pada berbagai aspek dan level kehidupan,
termasuk tentu saja dunia persekolahan kita.
Sementara
itu gaung School Based Management ataupun School Council hanya menjadi gincu
kosmetika persekolahan belaka. Padahal dari sinilah segala problematika
pendidikan dan persekolahan sekaligus solusinya bersemi.
Kejujuran
dan keseriusan semua pihak dalam menyongsong era baru dunia pendidikan formal
kita dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang berbasis
Kompetensi, akan menjadi titik krusial mengatasi berbagai problema kemandulan
kreativitas dan inovasi yang seharusnya bersemi dari balik dinding sekolah.
Sebuah
institusi sekolah akan mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi siswa bila
berbagai aspek, dan berbagai lini manajerial sekolah dijalankan sesuai dengan
semangat atmosfer filosofis pendidikan yang membebaskan. Dalam arti, secara
praktis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan akan bernasib sama dengan Kurikulum
yang sebelumnya bila manajemen pendidikan yang dilaksanakan di setiap unit
kerja atau sekolah masih dikungkung oleh model kepemimpinan kepala sekolah yang
monolitik, soliter dan jauh dari prinsip-prinsip kreatif dan inovatif. (Dayat/12.1B.14/12120283)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar