Umumnya, batok kelapa menjadi sampah. Kalaupun
dimanfaatkan, paling-paling batok itu untuk bahan bakar pengganti kayu. Namun,
di tangan Nur Taufik (38), warga Dusun Santan, Guwosari,
Pajangan, Bantul, DI
Yogyakarta,
Batok Kelapa diubah menjadi aneka peralatan Rumah tangga. Batok kelapa
pula yang mengantarkannya menjadi Pengusaha Sukses
Cerita sukses Taufik
berawal ketika lulus SMA tahun
1992. Sebagian besar temannya memilih merantau ke Tangerang menjadi buruh pabrik.
Taufik tak mau mengikuti temannya. Dalam benaknya, ia tidak pernah mau menjadi buruh yang harus
menuruti majikan. Ia ingin membuka usaha sendiri.
Gagasan mengolah batok kelapa datang setelah ia menerima hiasan dinding dari tetangganya. ”Dari hiasan itu saya mulai berpikir, ternyata batok kelapa bisa dimanfaatkan. Saya putar otak, kira-kira batok kelapa tersebut bisa dibuat apa lagi,” ujar Taufik.
Gagasan mengolah batok kelapa datang setelah ia menerima hiasan dinding dari tetangganya. ”Dari hiasan itu saya mulai berpikir, ternyata batok kelapa bisa dimanfaatkan. Saya putar otak, kira-kira batok kelapa tersebut bisa dibuat apa lagi,” ujar Taufik.
Ia
mencoba membuat gantungan kunci. Tetangga banyak
yang mencibir karena kerajinan batok
dilihat tidak punya nilai jual.
Cibiran itulah yang menginspirasinya menamai usahanya dengan nama Cumplung Aji.
Nama tersebut
diambil dari kata cumplung yang berarti batok kelapa yang jatuh ke tanah
setelah dimakan tupai. Adapun aji berarti mempunyai nilai.
Sekitar
seratus gantungan kunci lalu
dibawa ke Malioboro untuk ditawarkan. Para pedagang kaki lima
hanya menawarnya Rp 300 per unit, sementara biaya produksinya Rp 500 per unit.
Umumnya konsumen lokal belum
memandang karya seni dalam batok kelapa. Mereka masih melihatnya
sebagai limbah sehingga tawaran harganya murah. Taufik tak mau rugi. Ia mencari
pasar lain.
”Kakak saya yang kuliah di
Universitas Islam Indonesia, mengusulkan agar gantungan
kunci itu dititip di koperasi kampusnya. Saya lalu menambahkan sedikit sablon
yang berisi nama jurusan atau fakultas. Di luar dugaan, ternyata banyak yang
tertarik dengan harga Rp 700 per unit,” katanya. Ada
margin Rp 200 per
unit.
Ikut Pameran
Taufik
memutuskan melanjutkan studi di Fakultas Peternakan Universitas Wangsa
Manggala. Selama kiliah, naluri
bisnisnya justru makin kuat. Tak hanya di
koperasi kampus, ia mulai menitipkan
barangnya ke tempat Pameran Kerajinan di
Kasongan.
Menurutnya,
produk olahan batok kelapa kurang mendapat tempat di kalangan masyarakat Indonesia. Ia
berusaha membidik pasar asing dengan mengikuti pameran di
Hotel Ambarrukmo dan Hotel Garuda.”Dari usaha itu saya
langsung dapat order 300 tempat sabun,”katanya.
Pesanan
dalam partai besar membuatnya makin bergairah. ia mengikuti kegiatan Festival Kesenian Yogyakarta
(FKY) di Benteng Vredenburg. Saat itu ia memamerkan patung batok kluntung
sebagai pengganti bel di rumah-rumah.
Dari
pameran-pameran tersebut, pesanan yang diterima makin banyak. Pesanan untuk
luar negeri pertama kali ia terima yakni 700 alat musik marakas (alat musik samba) ke
Kanada. Satu unit dihargai Rp 8.000 dan pesanan tersebut berlanjut ke tahun
berikutnya sebanyak 10.000 marakas.
Kini
setidaknya sudah ada 200 jenis barang yang ia buat dari batok kelapa. Jenisnya aneka ragam, seperti gelas, asbak, tas, dan
sendok. Harga jualnya antara Rp 1.500 dan Rp 60.000 per unit.
Untuk
mengolah batok kelapa menjadi aneka peralatan rumah tangga, Taufik
dibantu 12 karyawan tetap
dan 15 tenaga borongan. Semuanya masih tetangga
sekitar rumahnya. Peralatan pendukungnya sekitar 20 mesin bubut. ”Saya ingin rezeki saya
juga dinikmati tetangga sekitar. Apalagi banyak pengangguran di dusun saya,” katanya.
Taufik
berniat membangun sentra usaha batok
kelapa di dusunnya. Niatnya itu muncul karena banyaknya pesanan yang masuk
sehingga ia kewalahan memenuhinya. Pesanan dari Jepang terpaksa
ditolak karena jumlahnya sangat besar, yakni 80.000 unit tiap tiga bulan.
”Saya
tidak sanggup memenuhi permintaan sebanyak itu. Ada delapan jenis barang yang
mereka minta.
Sebagian besar untuk tempat makanan cepat saji, jadi
pemakaiannya sekali langsung dibuang,” katanya.
Sudah
ada 30 tetangganya yang diberi pelatihan khusus. Setelah mengusai teknik pemanfaatan batok kelapa,
mereka bisa memproduksi sendiri. ”Hasilnya bisa langsung saya tampung sehingga
mereka tidak repot-repot mencari pasar. Saya ingin melihat tetangga ikut maju,
tetapi sayangnya sulit sekali mengajak mereka. Mereka lebih suka menjadi buruh
pabrik,” katanya.
Saat ini omzet Taufik berkisar Rp 90 juta per bulan dengan
margin keuntungan sekitar 30 persen. Untuk mendapatkan
bahan baku, ia mengambil dari Kulon Progo dan daerah luar Jawa, seperti
Jambi dan Lampung.
Pangsa
pasar produk kerajinan Cumplung Aji 75 persen ke pasar internasional, yakni Perancis dan Amerika Serikat.
Adapun 25 persen sisanya ke pasar lokal. (MARYANTO/12119435/12.1F.24)
Courtesy KOMPAS.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar