PROFIL WIRAUSAHAWAN SUKSES ( JACOB OETAMA )
Pendiri PT. Compas gramedia.
Sosoknya dikenal santun, bersahaja, dan pemalu. Ia mengangankan
kemakmuran bagi Indonesia mini yang bernama Kelompok Kompas Gramedia.
Bagaimana ia memimpin lebih dari 10 ribu karyawannya?
Pada penghujung Januari 2001, matahari baru sepenggalah, seorang
karyawan Kelompok Kompas Gramedia (KKG) bergegas memasuki lift. Ketika
angka enam menyala dan pintu lift terbuka, perasaan sukacita masih
menyergapnya.
"Gile, gue mau ngomong apa, ya," batinnya seraya terus melangkah
menyusuri koridor sebelum akhirnya masuk satu ruangan. Ia masih tak
percaya saat sekretaris Jakob Oetama menelefonnya. "Dipanggil Bapak."
Selama lebih dari lima tahun bekerja sebagai karyawan KKG, baru pertama
kali ini ia menjejakkan kaki di ruangan itu dan bertemu dengan Jakob
Oetama, berdua saja di ruang kerja Presiden Direktur dan Chief Executive
Officer KKG.
"Terima kasih atas bantuan yang Bapak berikan." Kalimat itu langsung
meluncur dari mulut si karyawan itu begitu berhadapan dengan Jakob. Pada
hari sebelumnya, atasannya memberikan titipan bantuan dari Jakob atas
musibah yang menimpa keluarganya. "Saya ini seorang ayah yang memiliki
banyak anak. Kamu layaknya seorang anak yang kalau punya masalah atau
persoalan datang ke bapaknya." Kalimat yang disampaikan Jakob itu sampai
saat ini masih tersimpan di memorinya.
Sepenggal kenangan juga disimpan August Parengkuan, wartawan senior
Kompas dan Presiden Direktur PT Duta Visual Nusantara Tivi (TV7). Ketika
berada di Australia untuk tugas jurnalistik, Jakob Oetama menelefon
istrinya.
"Ia menanyakan kabar keluarga, termasuk anak-anak, selama saya pergi.
Bagaimana saya tidak terharu," kenang August. Menurut dia, bukan hanya
ia saja yang mendapatkan perhatian khusus. Karyawan lain pun memperoleh
perlakuan yang sama dari Jakob. Bos KKG itu sering jalan-jalan
mendatangi unit lain.
Sapaan, semisal selamat pagi, apa kabar, meluncur dari bibir Jakob saat
berpapasan dengan karyawan KKG, entah itu office boy, staf, sampai
manajemen puncak. Terkadang Jakob sekadar tersenyum atau menepuk bahu
atau punggung karyawan yang ditemuinya. Tengah malam menjelang dini
hari, meski tidak serutin dulu, Jakob menyambangi percetakan.
"Bayangkan, CEO yang memimpin 10 ribu karyawan bersikap seperti itu,"
ujar August.
August juga merekam kenangan lain. Saat Jakob masih menjadi komandan
Kompas, sering tiba-tiba saja ia muncul di ruang redaksi. "Sedang
mengerjakan apa? Ada kesulitan atau tidak? Sudah makan?" Begitu J.O. --
panggilan akrab Jakob -- menyapa anak buahnya yang berkutat dengan
deadline. Pada hari tertentu, ruang redaksi Kompas ?pecah? oleh jeritan
kaget seorang rekan karena mendapatkan kartu ucapan selamat ulang tahun
di mejanya dari J.O. "Sekarang jarang, ya, karyawannya sudah ribuan,"
aku Jakob.
Jakob dikenal luas sebagai orang bersahaja. "J.O. ditawari fasilitas
mobil Mercedes Benz, namun ia menolaknya," cerita August. August, yang
menambahkan, sebenarnya J.O juga pemalu. Ia sering terlihat berdiri
sendirian di pojok saat menghadiri pesta. Ia juga memilih datang
sendiri, tanpa sang istri. Selain pelahap buku dan jogging setiap pagi,
tak banyak karyawan yang tahu kehidupan pribadi Jakob. Memanusiakan
manusia, begitulah filosofi J.O.
"Saya sosok yang I do care," ungkap J.O. Ia tak pernah memandang level
karyawan. Siapa pun disapanya. Siapa pun dia dijenguknya kalau
mendapatkan musibah, semisal keluarganya sakit atau meninggal. Saat
sopir kantor di kampung sakit, J.O., seperti diceritakan August,
menengok ke rumahnya. "Ibaratnya kami bekerja di sini diuwongke," kata
August. Tapi, beberapa tahun terakhir ini, karena faktor usia yang sudah
merambat tua, J.O. mengaku tak selalu menyambangi langsung ke rumah
karyawan yang tertimpa musibah. "Sudah tak sekuat dulu dan karyawannya
makin banyak," tuturnya.
Perhatian dan kepedulian Jakob setali tiga uang dengan perilakunya yang
santun, bahkan kerap dinilai oleh karyawannya kelewat santun. Sebagai
orang Jawa, Jakob dipandang sangat njawani. Di lingkungan KKG, Jakob
dikenal sebagai pribadi yang menjaga perilaku.
"Ia takut menginjak kaki orang lain, takut menyinggung orang lain,"
ungkap seorang karyawan. Bahkan, menurut Vaksiandra, Redaktur Pelaksana
majalah Hai, "Kultur yang dibangun di KKG juga kultur Jawa, sangat
kulonuwun, ewuh pakewuh," katanya. Di matanya, pribadi Jakob yang
terlalu njawani dengan sikap rendah hati membuat sosoknya sebagai
pemimpin tidak tampak jelas.
"Kalau ingin melihat sosok sebenarnya J.O., lihat saja bagaimana bahasa
Kompas. J.O. itu tidak meledak-ledak dalam menyampaikan kritik,
bahasanya halus padahal nyelekit bagi yang memahami makna yang tersirat
di balik kalimat itu," ujar August.
Perilakunya yang santun dan ewuh pakewuh tak jarang justru menjadi
bumerang bagi perusahaan. Saat Jakarta-Jakarta, Tiara, dan Raket harus
ditutup, Jakob tak mengambil langkah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Karyawannya disalurkan ke unit bisnis lain atau ke media lain di bawah
payung KKG. Padahal, SDM di unit tersebut sejatinya sudah pas.
"Akhirnya, ya dijejal-jejali dan buntutnya menjadi tidak produktif,"
tutur karyawan yang tak mau diungkap jati dirinya itu. Dalam
perjalanannya, PHK akhirnya diberlakukan bagi karyawan Raket. Itu pun
berkat desakan karyawan. Imbalan pesangon yang sangat besar -- untuk
ukuran media baru dan tengah collaps -- lantas diberikan Jakob.
Kepedulian dan perhatian J.O. kepada karyawan yang terpancar dari
prinsip I do care tersebut diterapkan sebagai falsafah manajemen di
lingkungan perusahaan. Dalam memberdayakan karyawannya, J.O menerapkan
falsafah We do care. Manajemen, menurut dia, wajib seoptimal mungkin
menerapkan falsafah We do care sebagai wujud kewajiban perusahaan atas
hak karyawan.
Sebagai wujud falsafah ini, ia mengaku selalu berupaya peduli atas
segala kebutuhan karyawannya. "Kita harus tahu apa yang diinginkan oleh
karyawan. Dengan kepedulian, berarti kita menghargai keberadaan mereka.
Jangan hanya memperlakukan mereka sebagai mesin penghasil uang,"
katanya.
Tak heran, Jakob begitu memperhatikan kesejahteraan karyawan. "Imbalan
yang pas sesuai dengan beban kerjanya akan membuat karyawan lebih
termotivasi bekerja dengan lebih baik," jelasnya. Meski begitu, ia
menganggap sistem penggajian di KKG belum sempurna. Menciptakan
perusahaan yang adil, makmur, dan merata bagi seluruh karyawan --"Itu
cita-cita J.O.," ungkap August.
Menurut dia, J.O. sangat peduli atas masalah hak karyawan, seperti gaji
dan tunjangan supaya karyawan KKG hidup lebih layak. Saking pedulinya,
khususnya di level bawah atau staf, J.O. lebih dulu membuatkan perumahan
bagi karyawan level bawah. Sementara itu, karyawan di level manajemen
menengah atas belakangan. "Ha..ha..kita pernah iri atas kebijakan itu.
Kok, kita dapat rumahnya belakangan?" cerita August.
Bagi Jakob, menyejahterakan karyawan itu kewajiban perusahaan. "Mereka
aset, ya harus mendapatkan hak-haknya dengan baik," katanya. Menurut
dia, dengan tingkat kesejahteraan yang baik, karyawan pun akan
termotivasi memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Mereka juga menjadi
loyal. Secara jujur, ia bangga bahwa turn over karyawan di
perusahaannya relatif kecil. "Di bawah 5%," tambahnya. Kata seorang
karyawan yang tak mau diungkap jati dirinya, "Jakob tahu sekali
bagaimana membuat karyawan betah bekerja di sini."
Ibarat pisau bermata dua, sikap We do care perusahaan bukannya tak
menerbitkan riak. Ia tidak menampik bahwa upaya selalu memenuhi
kebutuhan karyawannya agar sejahtera menciptakan pegawai yang cenderung
terlena dengan segala kemapanan yang diperoleh karena bekerja di KKG dan
tidak didapatkan di tempat lain. Buntutnya berkembang istilah rajin
malas sama saja alias RMS. Pasalnya, sistem penggajian dan pemberian
fasilitas KKG sangat jelas. Parameternya ialah lama bekerja, bukan pada
performa karyawan.
Prestasi karyawan lebih untuk mendongkrak posisi. Misalnya, tahun ke
berapa mendapatkan fasilitas pinjaman rumah, kendaraan, atau yang lain,
jelas tertuang. Artinya, rajin atau malas, fasilitas dan tunjangan tetap
diberikan. "Namun kami saat ini sudah menerapkan pemberdayaan SDM
melalui sistem penilaian karya," kata Jakob. Dengan sistem ini,
diharapkan karyawan lebih termotivasi menunjukkan kinerjanya. "Supaya
juga tidak ada istilah RMS itu," ungkap J.O. Penilaian karya ini
dievaluasi setiap enam bulan dan dipantau terus-menerus oleh pihak SDM.
Ruang seluas 30-an meter persegi di lantai 6 Gedung KKG, Jalan Palmerah
Selatan, berhawa sedikit panas, sepertinya pendingin ruangan tidak
berfungsi dengan baik. CEO KKG, Jakob Oetama, menerima tim SWA. "Saya
hanya punya waktu sampai pukul 11.15 ya, karena ada janji bertemu
orang," kata J.O.
Di dinding ruang bercat putih itu, waktu menunjukkan pukul 10 lewat 5
menit. Jakob terlihat santai dengan kemeja biru muda dipadu celana biru
tua lengkap dengan dasi bermotif garis bintik-bintik dan tanda pengenal
melekat di dada kirinya. Ballpoint Montblanc terselip di saku kemejanya.
Kami dari SWA duduk di sofa berwarna krem. Lemari berisi buku koleksi
Jakob berderet rapi sepanjang lebih dari lima meter. "Bagaimana perasaan
Bapak terpilih menjadi The Best CEO?" SWA memulai perbincangan. Jakob
tak langsung menjawab. Sejurus ia diam lantas menyungging senyum.
"Itulah, saya pakewuh," katanya.
Ia mengaku surprise sekaligus heran karena terpilih sebagai The Best CEO
2003. "Semestinya orang lain saja yang lebih muda usia yang meraih ini.
Saya sudah tua lho, 72 tahun," tambahnya. Wajah sepuh-nya memang
tergurat jelas pada garis mukanya. Rambutnya yang dibiarkan agak
gondrong menyembulkan gumpalan uban.
"Kalau boleh saya menilai diri saya sendiri, saya itu orangnya ngemong.
Mungkin karyawan suka kepada saya karena sikap ngemong ibarat bapak
kepada anaknya," papar J.O. mengomentari bahwa terpilihnya ia sebagai
The Best CEO karena penilaian pegawainya juga. "Sebenarnya, saya tidak
sehebat seperti yang dibicarakan karyawan saya. Sebetulnya saya
biasa-biasa saja," katanya.
Selama memimpin KKG, ia menegaskan falsafah leadership yang dianutnya
ialah falsafah ngemong. Arti ngemong baginya itu menggerakkan, mengajak,
memotivasi, menyemangati, menjelaskan, dan bagaimana melakukan
komunikasi. Di matanya, kunci keberhasilannya ialah berkomunikasi dengan
seluruh karyawan dari semua level. "Komunikasi itu sangat penting,"
katanya.
Bentuk komunikasi sederhana yang dianutnya ialah sekadar menyapa
karyawan: apa kabar? selamat pagi! Komunikasi tersebut dijabarkan juga
lewat forum karyawan di setiap unit usaha. Secara berkala, ia mengadakan
pertemuan dengan direktur seluruh unit bisnis. Pertemuan resmi ia
dengan seluruh karyawan KKG dilakukan setiap acara syukuran tahunan yang
jatuh pada Januari.
Menurut dia, acara tersebut sangat ditunggu-tunggu seluruh karyawan KKG.
"Karena pada acara itu Bapak mengumumkan kenaikan gaji. Tahun ini,
berapa persen?" timpal SWA. "Kok tahu?? tanyanya, keningnya mengerenyit.
Tanpa menunggu jawaban SWA, ia menambahkan, "Ya, itu sebenarnya yang
ditunggu-tunggu karyawan," katanya menyungging senyum.
Untuk mengomunikasikan visi, misi, dan garis besar kebijakan perusahaan
kepada seluruh karyawan, J.O. menjelaskan bahwa KKG memiliki pedoman
baku perusahaan, yang seluruh karyawan wajib mematuhinya. Ini termasuk
melalui sharing knowledge dan experience dengan pegawai yang dilakukan
lewat pertemuan rutin, baik langsung di depan karyawan, lewat forum
karyawan, atau acara lain.
Guna mempercepat pencapaian visi dan misi, J.O, menekankan kerja sama
tim. Tim kerja yang solid dan baik memudahkan dan mempercepat pencapaian
visi dan misi yang ingin dicapai perusahaan. Ia melihat dirinya sebagai
sosok team builder. Baginya, sosok pemimpin itu harus mampu menjadi
team builder.
Sebagai pemimpin, J.O. mengakui dirinya bukanlah orang yang menguasai
banyak hal. "Saya harus tahu diri bahwa saya tidak menguasai semua hal
atau banyak hal," ucapnya. Ia lebih senang membangun tim yang terdiri
atas beberapa orang yang memiliki kelebihan masing-masing dengan
pembagian kerja dan tanggung jawab kerja yang jelas. "Seluruh anggota
tim bertanggung jawab baik atas kesuksesan maupun kegagalan," jelasnya.
Adanya tim kerja membuat dirinya bisa lebih memobilisasi karyawannya
dengan segala kelebihan di bidangnya. Ia sadar bahwa perusahaan ini
memiliki keragaman keahlian. Perusahaan ini memerlukan keahlian di
berbagai bidang agar bisa tetap jalan. Bermacam keahlian itu dijadikan
satu dalam forum atau tim, baik di tingkat corporate management maupun
di setiap unit usaha.
Dengan beragam SDM yang memiliki beragam keahlian, latar belakang, dan
budaya, J.O. memilih melakukan pendekatan kultural. Melalui pendekatan
ini, ia berusaha memahami dan mengerti bagaimana sifat, karakter, dan
perilaku karyawannya yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda.
Meskipun berbeda, J.O. menginginkan ada kultur yang berlaku umum bagi
seluruh karyawan di dalam ruang lingkup KKG.
Salah satu kultur di KKG ialah budaya kerja tim yang harus terus-menerus
dibina dan dibangun. Lewat tim, berarti ada komitmen bersama yang patut
disepakati bersama." Dengan adanya tim kerja, tujuan akan lebih cepat
tercapai sehingga waktu dapat dimanfaatkan secara optimal dan efisien,"
tegasnya.
Sebagai pucuk kepemimpinan yang menaungi kemajemukan, ia berupaya seadil
mungkin memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh karyawan untuk
maju dalam konteks demi kemajuan perusahaan. Ia mengibaratkan KKG
sebagai Indonesia mini.
"Beragam suku, budaya, agama, etnis, ada di sini. Ini menjadi sumber
kekuatan perusahaan," katanya. Ia ingin menciptakan Indonesia mini yang
makmur, kaya, dan adil di dalam lingkup perusahaan. "Sejak mendirikan
perusahaan ini, saya sudah mencanangkan akan membawa perusahaan ini
sebagai Indonesia mini," jelasnya.
Sebagai komandan, J.O. berupaya menyelaraskan penerapan sistem manajemen
bisnis yang baku dengan suasana kekeluargaan. "Sejak awal, saya ingin
perusahaan ini sebagai keluarga kedua bagi karyawan karena mau tidak mau
sebagian besar waktu karyawan itu dihabiskan di kantor," tuturnya.
Menurut dia, kelugasan sikap, ketelitian, kedetilan, dan ketepatan
waktu, serta perhitungan eksak sangat diperlukan dalam bisnis. Toh,
bisnis yang bernuansa kekeluargaan juga bukanlah hal yang jelek. Dalam
pandangannya, suasana kekeluargaan dan keharmonisan penting bagi
kemajuan bisnis.
"Kita harus bisa menyeimbangkan antara kepentingan manajemen bisnis
dengan asas kekeluargaan," tegasnya. Caranya? "Bersama almarhum P.K.
Ojong, sejak awal berusaha betul menerapkan dan menjalankan Good
Corporate Governance (GCG)," katanya.
GCG, menurut dia, diperlukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan
bisnis yang sakelijk dengan bentuk manajemen kekeluargaan. Jurus yang
dilakukannya ialah membuat sistem kontrol yang jelas, baku, dan hitam
putih. Rambunya jelas dan transparan. Sebagai pemimpin tertinggi, ia
selalu menjaga agar tidak ada kebocoran dalam hal keuangan perusahaan.
"Ini saya perhatikan betul mengingat pundi-pundi keuangan itu demi
kemakmuran bersama," ujar Jakob yang memercayakan pengelolaan keuangan
kepada pihak yang profesional dan ahli. Dikatakan August, dalam
menjalankan bisnis, J.O sangat konservatif. "J.O. sangat berhati-hati
mengeluarkan setiap sen uang perusahaan," paparnya.
Sebagai pelaku bisnis, ia berpikir bahwa dirinya juga memiliki tanggung
jawab sosial dan berkontribusi penting pada kemajuan sosial bangsa. Ia
setuju bahwa pelaku bisnis wajib diberi tanggung jawab sosial. Ia
melihat pada iklim ekonomi pasar yang berlaku saat ini, pelaku bisnis
harus diperlakukan secara proporsional karena kehadirannya diperlukan
untuk menggerakkan roda ekonomi sektor riil. Dalam membangun SDM, hal
mendasar ialah pemilihan karakter, yang diutamakan sejak awal perekrutan
karyawan.
Fleksibel, luwes, berpikiran terbuka, dinamis, berani menerima kritik,
asertif, jujur, peduli orang lain, bisa saling memberi dan menerima
serta teratur --itulah kriteria SDM yang menjadi parameter KKG.
"Karakter karyawan yang tidak malas, tepat waktu, jujur, tidak
manipulatif itulah karakter yang saya sukai," ujar Jakob.
Untuk menciptakan SDM yang berintegritas, kompeten, dan accountable,
J.O. berusaha menjalankan nilai-nilai yang disepakati bersama sehingga
dirinya dapat menjadi sosok yang patut disegani dan dihormati oleh
karyawannya. Sebagai pemimpin, ia mengaku berusaha untuk selalu sejujur
dan selurus mungkin dalam menjalankan bisnisnya. Baginya, hal ini patut
dijalankan agar menjadi contoh yang baik bagi anak buahnya.
"Masa kita bicara A tetapi sikap kita B? Wah, nggak boleh begitu jadi
pemimpin," ujarnya. Memberikan contoh yang akhirnya menjadi panutan,
begitulah yang dilakukan Jakob. "Saya selalu berusaha memberikan contoh,
dalam hal ketepatan waktu, misalnya," katanya.
Yanti, sekretarisnya, memuji J.O. sebagai sosok yang memiliki disiplin
waktu tinggi. Ia pernah menanyakan pada Big Boss-nya mengapa selalu
tepat waktu? "Nanti jadwal orang juga bisa berantakan hanya gara-gara
menunggu saya," ujarnya mengutip jawaban Jakob. Bahkan, J.O. mengatakan
ketepatan waktunya itu sebagai salah satu wujud penghargaan dirinya
terhadap hasil kerja keras sekretarisnya yang sudah mengatur jadwal
sedemikian rupa.
Tak ada gading yang tak retak, sebagai pemimpin, Jakob mengaku memiliki
kekurangan. Ia menyadari kadang dirinya dilihat sebagai sosok yang
sangat penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan sehingga terlihat
lambat dalam mengambil keputusan di mata anak buah. August menjelaskan,
kelemahan J.O. lebih pada cara dan bagaimana J.O. mengambil keputusan.
"Bagi orang yang berkarakter agresif, J.O. dianggap lamban. Semua hal
dipikirkan masak-masak. J.O. itu paling tidak bisa diburu-buru dan
didesak-desak dalam mengambil keputusan. J.O. sangat tidak menyukai
pendesakan. J.O. akan melihat dari segala sisi ketika akan mengambil
keputusan. J.O akan menanyakan berbagai macam pendapat dari banyak
pihak," papar August.
August mencontohkan ketika J.O. mengambil langkah investasi di bisnis
televisi. Sebelum lahir TV7, J.O. melemparkan ide ini kepada top
management. Ia sharing argumen dan knowledge tentang rencana merambah
bisnis tv. Tidak hanya dengan top management, J.O. jalan-jalan keliling
perusahaannya dan menanyakan pendapat karyawan yang ditemuinya tentang
idenya tersebut. "Jadi, realisasi ide itu ialah buah pikiran bersama.
Nggak heran kalau ia lama mengambil keputusan," terang August.
J.O. sangat mengakui keterbatasan dirinya. Meski ujungnya ia yang tetap
memegang dan mengetuk palu dalam memutuskan sesuatu. "Saya bukanlah
orang yang bisa semua hal. Saya butuh orang untuk mendampingi saya
menjalankan bisnis ini, termasuk konsultan, sebelum saya mengambil
keputusan bisnis," tegas Jakob.
Sebagai pelaku bisnis, ia memercayakan dan mendelegasikan tugas kepada
para profesionalnya. J.O terbuka terhadap saran dan pendapat para
profesionalnya. Itu tak hanya di ruang rapat. Misalnya ada rencana
bisnis tertentu, kepada karyawan yang ditemuinya ketika ia naik lift
atau berpapasan dengannya tanpa memandang levelnya, J.O. selalu berusaha
mengumpulkan pendapat.
"Inilah mengapa J.O dikenal dengan gaya management by walking arround.
Ia tidak bersikap mentang-mentang sebagai presdir," jelas August.Tak
hanya terbuka pada kritik. Jakob dikenal fleksibel dalam mengantisipasi
perkembangan zaman, termasuk bisnis. "Strategi bisnisnya jauh ke depan,"
kata Vaksiandra. Dia punya pengalaman ketika Kompas membuat sisipan
Muda yang menggandeng Hai dan Kawanku. Jakob menilai sisipan itu secara
bisnis ke depannya akan menguntungkan karena punya daya jual tinggi.
Diakui Jakob, sistem di KKG akan terus-menerus dibangun dan disesuaikan
dengan perkembangan zaman yang mengacu pada visi dan misi perusahaan.
"Kalau bersikap kaku, waduh, bagaimana perusahaan ini berkembang.
Generasi saya dengan generasi sekarang itu sangat jauh berbeda. Anak
muda lebih dinamis, agresif, terbuka, dan asertif," katanya.
Anak muda pula memang yang dipilih Jakob menggantikan posisinya sebagai
Pemred Kompas. Suryopratomo, kelahiran 1961, didapuknya menjadi orang
nomor satu di jajaran redaksi Kompas. "Para redaktur senior sudah
mendekati masa pensiun dan mereka juga telah mendapatkan pekerjaan lain
yang tidak kalah beratnya dari tugas pemred," ungkap Jakob ketika
ditanya mengapa bukan August Parengkuan atau Ninok Leksono yang tampil.
Alih generasi mulai dilakukan. Siapa calon penggantinya? Boleh jadi saat
ini ia tengah mengelus-elus jagonya. Dan, bisa saja pilihan orang yang
menggantikannya akan banyak mengejutkan. Seperti ketika ia memilih
Suryapratomo. "Saya sangat berhati-hati dalam memilih pengganti saya.
Yang jelas nota bene berasal dari dalam KKG sendiri," ucapnya.
Itu bukan berarti ia tak membuka diri bagi profesional di luar KKG.
Untuk posisi tertentu di level supervisor dan manajer, KKG membuka diri
untuk mencari pemimpin yang berasal dari profesional karier dari luar,
bukan dari dalam. Langkah ini ditempuh untuk menjawab tuntutan dunia
bisnis yang bergerak cepat dan dinamis.
Hal ini dilakukan agar KKG lebih dinamis, agresif, dan inovatif. Secara
jujur ia mengakui bahwa para profesional dari luar KKG lebih asertif,
dinamis, percaya diri, dan aktif mencari terobosan dalam pengembangan
bisnis. Kelebihan itu dipadukan dengan kemampuan SDM KKG dari dalam yang
lebih paham dan mengerti bagaimana dan siapa itu KKG. Ia telah
memutuskan mem-blending-kan SDM profesional dari luar dan dalam.
Namun, untuk level direksi, ia masih menyiapkan dari orang dalam.Dalam
mempersiapkan penggantinya, ia menganut paham lokomotif yang tetap
menggandeng gerbongnya. Ia masih bisa menggandeng calon penggantinya
sebelum ia benar-benar turun atau pensiun agar bisa mengawasi jalannya
perusahaan dan bagaimana calon penggantinya itu memimpin.
"Pelan-pelan saya akan melepas gerbong itu," ujarnya.
Ia menegaskan dan menyarankan, ada cara yang mudah jika ingin menjadi
pemimpin yang sukses di KKG. "Caranya gampang. Jangan lihat ke atas
tetapi lihatlah ke bawah, samping kiri dan kanan supaya peduli pada apa
yang terjadi di sekitar kita," ungkapnya. Ia mengaku tidak pernah
membayangkan bahwa Kompas dan KKG akan menjadi besar seperti sekarang
ini.
Bagi Jakob, keberhasilannya sebagai pemimpin sejatinya harus dilihat
dari bagaimana kondisi perusahaan (KKG) setelah ia undur diri dari
manajemen. Apakah KKG tetap jalan atau tidak? Jika KKG tetap berjalan
dan berkembang, ia menganggap dirinya telah berhasil memimpin. Jika
tidak, berarti ia telah gagal memimpin. Ia merasa sukses kalau berhasil
mengantarkan penggantinya bisa tetap mempertahankan bisnis ini berjalan
terus.
"Jika hancur, ia sering kali akan merasa berdosa karena menyangkut hidup
karyawannya," ujar August mengutip perkataan Jakob Oetama yang kerap
dikatakan kepadanya.
Di mata August, bisa saja seorang CEO diganti atau tergantikan. Tetapi,
sosok pemimpin yang sangat kebapakan seperti Jakob Oetama jarang sekali
ditemui. Jika terjadi alih generasi dari kepemimpinan J.O. kepada
penerusnya, August berpendapat bahwa sesungguhnya KKG kehilangan sosok
bapak selayaknya anak yang kehilangan ayahnya.
"Siapa pun penggantinya, sosok ayah yang ada di J.O. tidak dapat
tergantikan. Kelebihan dan kelemahan J.O. bisa diterima dengan baik
karena J.O. itu seorang ayah," kata August. Tanpa bermaksud mendahului
Sang Khalik, August mengungkapkan saat ini karyawan sangat khawatir akan
kondisi kesehatan J.O. mengingat usianya yang semakin tua.
Jakob Oetama lahir di Borobudur, 27 September 1931. Selepas menamatkan
SMA Seminari di Yogyakarta, anak pensiunan guru di Sleman ini mengikuti
jejak sang ayah, menjadi guru. Ia pernah mengajar di SMP Mardiyuwana,
Cipanas, Jawa Barat, dan SMP Van Lith Jakarta.
Di sela mengajar, ia menyisakan waktu menjadi redaktur mingguan Penabur.
Selain mengantungi ijazah B1 Ilmu Sejarah, Jakob tercatat sebagai
alumni Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta (1959) dan Fakultas Ilmu
Sosial Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1961).
"Saya mencintai profesi guru," kata Jakob saat akan diabadikan kamera di
depan meja kerjanya. "Mengapa kemudian memilih menjadi wartawan?" tanya
SWA. "Saya tidak akan seperti ini kalau tetap menjadi guru," ungkap
Jakob.
Bukan dalam konteks materi. Kompas tak hanya surat kabar yang saat ini
bertiras lebih dari 500 ribu eksemplar. Ia menawarkan sejumlah soal dan
menggelindingkan opini publik. Kontribusi pemikiran J.O. di Kompas masih
dominan. Ia masih menjadi think thank Kompas. Pengaruh kuat Jakob
terlihat dari pameo: Jakob Oetama adalah Kompas dan Kompas adalah Jakob
Oetama.
"Pengidentikan itu wajar. Saya salah satu perintis kelahiran Kompas dan
masih berkontribusi besar pada kemajuan Kompas dan KKG," kata Jakob.
Jakob sendiri lebih senang menyebut diri wartawan ketimbang pelaku
bisnis. "Jabatan sebagai CEO sebagai co-incident," katanya. Ketika
pertama kali usaha ini dirintis, J.O. lebih disiapkan sebagai pemimpin
redaksi sementara P.K Ojong sebagai pemimpin perusahaan. Wafatnya P.K.
Ojong pada 1980-an membuat ia harus segera mengambil alih tampuk
kepemimpinan perusahaan.
Sebagai pengusaha, Jakob sukses mengerek KKG menjadi kerajaan bisnis
pers terbesar di Indonesia. Memang tidak semua media di bawah KKG
menghasilkan pundi-pundi uang berlimpah. Tulang punggung KKG di luar
penerbitan buku ialah Kompas. Meski ia menolak disebut kapitalis,
bisnisnya terus merambah berbagai lini. Penerbitan pers, jaringan toko
buku Gramedia, hotel (Grahawita Santika), penyiaran radio (Radio
Sonora), kertas tisu (PT Graha Kerindo). Total ada 42 anak perusahaan
yang bernaung di bawah payung KKG. Total omset KKG pada 2001 saja
diperkirakan mencapai lebih dari Rp 1,05 triliun.
Keberhasilan KKG diakuinya juga berkat andil dan kerja keras seluruh
karyawan. "Tuhan juga memberkati perusahaan ini," tegasnya. Sekarang
ini, yang selalu menghantuinya justru bagaimana bisnis ini tetap
berjalan setelah ia tidak ada. "Pertanyaan apakah bisnis ini tetap ada
atau tidak setelah saya tidak ada, itu yang selalu ada di benak saya,"
katanya. Ia mengakui hal ini menjadi concern-nya mengingat usianya yang
sudah tidak muda lagi. Ia merasa sudah saatnya turun tahta. "Anak saya
tidak ada yang tertarik terhadap bisnis media. Satu anak saya terjun
mengurusi hotel," kata Jakob yang memiliki lima anak.
Jakob menanggalkan kartu pengenal di dadanya sesuai dengan permintaan
fotografer. "Saya sering dibilang teman lupa asal," ujar Jakob sembari
membagikan kartu namanya kepada tim SWA. Pukul 11.05, Yanti, sekretaris
Jakob, melongok ke ruang kerja Jakob. "Bapak ada janji lain, harus
pergi," katanya.
Kami beriringan menyusuri koridor dan memasuki lift. Jakob tersenyum
kepada satpam yang memencetkan tombol lift. Di dalam lift, ia membuka
notes kecil dari saku celananya. "Jam 12 siang di Grand Hyatt." Pintu
lift terbuka di angka 3, seorang wanita muda masuk. "Siang Pak,"
sapanya. "Mau ke mana?? Jakob mendekati wanita muda yang rupanya
wartawan Kompas. "Ke gereja? Ada acara apa?" tanya Jakob. Lift terbuka,
wanita itu bergegas keluar, "Duluan, ya Pak." Jakob melangkah pelan,
agak tertatih ke luar lift. "Dia ahli Amerika Latin," katanya. Kami
menyesuaikan langkah kami supaya tetap seiring.
Di lobi, Jakob bersua dengan Julius Pour dan mantan Wakil Pemimpin Umum
Kompas, A. Roesilah Kasiyanto. Jakob menjabat erat Roesilah dan saling
bertukar berita. Tak lama itu. Di depan lobi, mobil pribadinya, BMW seri
5 warna hitam, telah menunggu yang akan membawanya ke Grand Hyatt
bertemu Adam Schwartz, penulis buku Nation in Waiting.
Sumber : http://archipeddy.com/tokoh/jacob_oetama.html
success story ini di dedikasikan untuk Jacob Oetama
( Sebagai Komisaris Besar PT. Compas Gramedia, Di Tempat saya bekerja )
From : Eko Supriyanto
Kelas : 12.1E.24
NIM :12.11.65.07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar