Melihat kondisi bangsa
yang akhir-akhir ini makin banyak masalah sehingga kian menjauhkan dari
subsatansi kesejahteraan, membuat mahasiswa kembali me-refresh spirit
perjuangannya yang belakangan meluntur.
Apa yang dilakukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia merupakan salah satu bentuk kepedulian atas masalah yang melilit bangsa ini. Untuk konsolidasi BEM berencana menggelar pertemuan penting di Bandung, 25– 28 Juli 2011 lalu. Forum Bandung mengagendakan rencana aksi untuk memperingatkan dan meminta tanggungjawab pemerintah. Menurut Sustiyo Wandi, Ketua BEM Universitas Negeri Semarang, bahwa apa yang terjadi saat ini adalah cermin bahwa pemerintah melenceng dari konstitusi.
Agaknya, peran dan kekuatan mahasiwa terbukti dapat meluruskan perjalanan bangsa ini kearah yang sebenarnya. Sejarah membuktikan kepada kita bahwa gerakan mahasiswa pada tahun 1998 berhasil dengan gemilang ‘meluruskan’ arah bangsa yang melenceng. Rezim Orba yang berkuasa 32 tahun tumbang. Suksesnya mahasiswa dalam berbagai aksi merupakan bentuk perjuangan murni, tampa pretensi apa-apa.
Namun belakangan arah gerakan mahasiswa justru melenceng dan sepertinya kehilangan arah yang jelas, parsial dan pragmatis. Politisasi gerakan mahasiwa menjadi catatan hitam bagi aksi mahasiswa, ke depan perlu memurnikan kembali berbagai aksi yang akan dilakukan sehingga tidak menggerus kepercayaan publik.
Makanya, mahasiswa bersepakatan sebagai rakyat dan bangsa Indonesia bahwa empat pilar kebangsaan akan selalu dijaga, sehingga bangunan Indonesia tetap bisa dipertahankan dengan utuh; Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Salah satu saja pilar itu roboh maka kontruksi negeri ini akan sempoyongan.
Ketika Pancasila diabaikan, orang krasa-krusu memungut ideoligi alternatif nyatanya tetap tidak memberikan jawaban atas krisis ideologi yang kita alami. Pancasila kembali diingat. Lalu setelah 4 kali perubahan atau amandemen atas UUD 45, mencuat kembali suara-suara untuk kembali ke UUD 45 yang asli dan murni. Sementara Bhineka Tunggal Ika sebagai komitmen atas kemajemukan jadi perekat di tengah beragamnya kepetingan dan keinginan, sementara NKRI sejatinya menjadi bingkai yang sampai hari ini mempersatukan kita dari Sabang sampai Merauke.
Namun, komitmen kebangsaan di atas, empat pilar itu rentan sekali terhadap godaan. Banyak penyebab yang memicu salah satunya, karena pemerintah tidak kunjung menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran. Alih-alih kesejahteraan malah rakyat dihadapkan pada peliknya persoalan hidup, harga sembako makin tinggi, kesehatan makin sulit diakses rakyat miskin, pendidikan makin mengarah komersialisasi, sementara BBM makin langka di pasaran.
Mahasiswa menyanksikan kinerja pemerintah, angka kemiskinan yang masih tinggi, pengangguran, ketidakadilan, serta makin berjaraknya antara elit dan rakyat, bahkan negari seakan absen disaat rakyat butuh kehadirannya. Antara harapan dan kenyataan berselisih jauh. Deviasi yang lebar itu makin mengukuhkan anggapan bahwa rakyat makin tercampak kelorong yang jauh dan marginal.
Setumpuk harapan yang diamanatkan kepada wakil rakyat ternyata tidak memberikan kepuasaan berarti. Sungguh, apa yang akhir-akhir ini menggejala, makin menguatkan dugaan bahwa rakyat tertipu ulah prilakunya sendiri dalam memilih wakilnya di parlemen.
Sosok anggota parlemen yang menempati posisi penting dalam sistem ketatanegaraan kita, sebagai penyambung lidah rakyat, berjuang untuk rakyat tetapi justru sikap wakil rakyat yang ditunjukkan ke publik menuai antipati. Buktinya, kisruh rencana pembangunan gedung mewah DPR dan DPD, studi banding ke luar negeri di tengah kondisi rakyat yang payah tentu mengundang kontroversi sementara kinerjanya sulit diukur.
Sehingga tingginya pendapatan dan gaji anggota parlemen ternyata masih belum berkorelasi dengan kinerja yang dilakukan, wakil rakyat yang kaya gagasan, ide dan kritik tetapi gagal dalam implementasi.
Kondisi faktual, kita makin sulit menemukan tauladan yang akan memandu perilaku rakyat kearah yang lebih baik. Tengoklah, kasus kriminal yang terjadi, angku datuk yang menodai kemenakannya, bapak yang tidak dapat melindungi kehormatan anak kandungnya sendiri, tokoh ulama yang harus berurusan dengan pengadilan, belum lagi pejabat, politisi, mafia hukum dan siapa saja yang dalam sekejap bisa terjerembab.
Lusa hari masih menjadi idola dan terhormat, hari berikutnya jadi pesakitan dan dicerca. Kita makin paham bahwa kalau kultus individu bisa menipu nalar kita. Maka saatnya kita lebih percaya diri dengan memperteguh komitmen tampa memandang siapa-siapa.
Berbagai anomali sosial atau kepincangan, dan patologi sosial kerap memicu disintegritas sosial itu sendiri sehingga diyakini sebagai penyebab keretakan dan harmoni yang akhir-akhir ini terganggu. Kasus bunuh diri, pelacuran, main hakim sendiri, narkoba, penyelewengan jabatan, dan egoisme kekuasaan menjadi catatan kelam peri kehidupan bangsa.
Kriminalitas yang acap di persepsikan sebagai cap kalangan bawah, kini tidak lagi mutlak dominasi kalangan itu, bahkan kaum intelektual bahkan ada yang bergelar Magister yang menjadi pencuri rumahan door to door, ini menunjukkan bahwa kita makin prihatin atas pijakan moral yang makin tipis itu.
Di sinilah peran negara diperlukan, tentu saja dengan memberikan contoh nyata. Di samping itu komponen bangsa yang lain ikut bertanggungjawab atas perbaikan dan recovery terutama menyangkut moralitas dan komitmen kebangsaan. Tanpa itu, pemerintah sendiri saja akan kesulitan. Sementara peran pemangku kepentingan tidak maksimal dalam memainkan perannya tentu akan makin menjauhkan kita dari harapan yang dicita-citakan bagi Indonesia yang adil, damai dan makmur.
Sehingga gerakan mahasiswa kembali dapat mengoreksi kesalahan hari ini terjadi, dengan syarat harus mengedepankan rasional dan bukan emosional. Bravo Mahasiswa. (Wendi, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Andalas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar