Kebanyakan
lulusan perguruan tinggi yang sudah menjadi sarjana, bekerja di kantoran dengan
setelan jas yang parlente dan mendapat gaji banyak dengan pangkat yang tinggi
adalah hal yang menjadi mimpi mereka. Tapi, apakah mimpi itu semanis kenyataan
yang ada? Sama sekali tidak. Bagi kalian yang sudah sarjana dan masih menjadi
pengangguran, tidak ada salahnya anda menjadi seorang pengusaha. Menjadi
pengusaha itu tidak akan menjadi anda hina atau mendadak tidak diakui
kesarjanaan anda. Dan jangan sekalipun meremehkan hal kecil
dan jangan sekalipun meremehkan orang yang tidak selevel anda kesarjanaannya. Simak kisah seorang lulusan SMA yang
sukses menjadi pengusaha muda yang menggeluti usaha makanan ringan dan jika dibandingkan dengan gaji
seorang manajer bank, penghasilan pengusaha muda ini jauh berlipat lebih besar.
Kelik, Lulusan SMA yang Jadi Pengusaha Sukses
Meski hanya lulusan sekolah
menengah atas, Arifdiarto Ambar Wirawan (35) atau yang akrab disapa Kelik
berhasil menjadi pengusaha sukses. Usaha geplak dan peyek tumpuk yang sudah
digelutinya selama 10 tahun ini mampu meraih omzet hingga Rp 60 juta per bulan.
Dengan margin 30 persen, Kelik
bisa menyisakan keuntungan sekitar Rp 18 juta per bulan. Nilai yang luar biasa
bagi pengusaha di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta. Meski sudah sukses, ia belum
merasa puas. Penambahan cabang gerai baru di kota lain menjadi obsesinya ke
depan.
Kelik membuka usaha geplak dan
peyek tumpuk bersama istrinya, Sri Kasih (32), di Jalan Wahid Hasyim, Bantul.
Toko berukuran 5 x 8 meter itu berdampingan dengan rumah tempat tinggalnya
sekaligus lokasi produksi. Dulu, toko itu hanya berupa bangunan bambu, tetapi
kini sudah berkembang menjadi bangunan permanen dengan desain lebih menarik.
Dalam sehari, Kelik
membutuhkan sekitar 2,5 kuintal gula pasir untuk membuat geplak. Untuk peyek
tumpuk, ia butuh sekitar 50 kilogram kacang dan 25 kilogram tepung beras per
hari. Untuk membantunya berproduksi, ia mempekerjakan 20 tenaga kerja.
Apa istimewanya geplak buatan
Kelik. Menurut dia, ia hanya menggunakan gula asli tanpa pemanis sehingga rasa
manisnya lebih mantap. Tak heran jika geplak yang dijual seharga Rp 16.000 per
kilogram itu laris manis. ”Kalau bentuknya hampir sama produk milik orang lain,
tetapi dari segi rasa, konsumen bisa membedakannya,” katanya.
Untuk membuat geplak, ia
memakai kelapa, gula, dan aroma sesuai selera. Proses pembuatan geplak diawali
dengan pemarutan kelapa lalu santannya ditempatkan di kuali dan dicampur dengan
gula kemudian diaduk. Setelah dinaikkan ke tungku sekitar 4 jam, lalu
diturunkan dan diberi aroma, olahan itu kemudian dibentuk dan diangin-anginkan
selama 10 menit.
Menurut Kelik, produknya yang
dinilai istimewa adalah peyek tumpuk. Sesuai dengan namanya, peyek tersebut
dibuat dengan cara menyusun sehingga membentuk rangkaian peyek. Berbeda dengan
peyek pipih yang dimasak dengan satu kali penggorengan, peyek tumpuk digoreng
selama tiga kali.
Pertama, penggorengan
dimaksudkan untuk membuat susunan peyek. Setelah terbentuk susunan, peyek
dipindahkan ke penggorengan kedua. Pada penggorengan pertama, nyala api harus
kuat agar efek panasnya tinggi. Tujuannya supaya kacangnya bisa lekas matang.
Di penggorengan kedua, nyala api justru lebih kecil karena tujuannya supaya
peyek secara keseluruhan bisa matang. ”Kalau apinya terlalu besar, bisa
gosong,” ujar bapak tiga anak ini.
Sebelum masuk ke penggorengan
terakhir, peyek terlebih dahulu diangin-anginkan selama semalam. Tujuannya
supaya peyek benar-benar renyah dan gurih. Peyek tersebut dijual seharga Rp
32.000 per kilogram. Untuk proses pengapian, ia memanfaatkan tempurung kelapa.
”Untuk membuat peyek dan
geplak, dalam sehari saya butuh sekitar 750 butir kelapa. Kalau tempurungnya
tidak saya manfaatkan kan sayang. Hitung-hitung, ongkos produksi bisa ditekan,
apalagi harga gas dan minyak tanah sudah sangat mahal,” katanya.
Ide pembuatan peyek tumpuk
sebenarnya berasal dari mertuanya yang kebetulan bernama Mbok Tumpuk. Sebagai
menantu, Kelik berhasil meningkatkan usaha mertuanya dengan tetap
mempertahankan nama Mbok Tumpuk sebagai identitas produknya.
Menurut Kelik, membuka usaha
di bidang makanan awalnya tergolong susah. Karena belum dikenal masyarakat,
biasanya penjualan masih minim. Kalau tidak kuat, si pengusaha bisa saja
memutuskan untuk berhenti.
”Bagi saya, usaha butuh
konsistensi. Meski awalnya tidak laku, saya harus terus berproduksi. Saya tidak
boleh menyerah. Konsistensi juga faktor utama untuk menumbuhkan kepercayaan
pelanggan,” paparnya.
Selain konsistensi, lanjut
Kelik, faktor kejujuran juga memegang peranan penting. Kepada pembeli, ia
selalu menginformasikan soal masa kedaluwarsa produknya. Kalau waktunya tinggal
sedikit, ia menyarankan pembeli tidak mengambilnya, apalagi jika peyek atau
geplak tersebut akan dibawa ke luar kota.
Kelik hanya menjual geplak dan
peyeknya di toko sendiri. Ia sengaja tidak menitipkannya ke toko-toko lain
meski banyak permintaan. Ia khawatir bila dititipkan, harga dan kualitas tidak
bisa terkontrol. ”Bisa saja di toko lain produk kami dijual sangat mahal.
Mereka juga bisa saja menjual produk kedaluwarsa. Kalau sudah begitu, citra
kami pasti hancur,” katanya.
Ia berharap bisa membuka gerai
sendiri di kota-kota besar. Dengan pengendalian sendiri, ia yakin usahanya bisa
maju karena semuanya lebih terkontrol. Sampai sekarang saja, Kelik bersama
istri masih terlibat langsung dalam proses peracikan bumbu.
”Jangan terlalu percaya dengan
karyawan. Semuanya harus kami monitor selama kami masih sanggup,” ujarnya.
Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar