Optimisme terlihat pada kuliah perdana 12 September yang terik
kemarin. Ribuan mahasiswa baru tampak begitu semangat. Langkah pertama
dari rangkaian panjang mewujudkan cita-cita sudah terlaksana. Tetapi,
benarkah jalan mereka akan begitu mulus? Saya memprediksi, setidaknya
ada tiga tantangan yang akan menjegal mereka menciptakan “gol”.
Pertama, status sosial baru sebagai mahasiswa akan membawa konskuensi psikologis yang tidak kecil. Terlebih, status itu berkonskuensi pada tumpukan tanggung jawab individual dan sosial. Kemandirian sikap dan berpikir yang dituntut kampus dan lingkungan harus ditunjukkan ketika menghadapi persoalan akademik dan kehidupan. Hanya ada sedikit, menurut kalkulasi saya, dari ribuan mahasiswa baru yang dapat melewatinya dengan baik.
Ketika datang kali pertama, anak-anak muda ini terlihat bercahaya dalam kegairahan meraih masa depan. Namun satu atau dua tahun berikutnya, semangat akan bertumbangan. Kegairahan terkikis kebosanan akibat relasi asih-asuh di kampus yang (kadang) berubah mekanis. Mereka, kemudian, berganti mencari keasyikan; pada organisasi kemahasiswaan, kegiatan ekstrakurikuler, atau komunitas di luar kampus.
Sayangnya, tidak semua “jalan pelarian” baik dan etis dalam takaran sosiokultural masyarakat. Lingkungan baru yang apatis, pengawasan longgar dari kedua orang tua, berpotensi mengantar mereka pada kebebasan tak bertanggung jawab. Pola hidup “semau gue” adalah realitas paling mencolok mata.
Kedua, lingkungan kampus ternyata menawarkan godaan hedonistik yang tidak kalah menarik dengan kota metropolitan. Rayuan konsumtifisme akan datang siang dan malam melalui iklan. Keasyikan materalistis menawarkan kesenangan dari pagi hingga pagi kembali. Teman dan lingkungan terdekat yang memiliki gaya hidup konsumtif, diam-diam menciptakan sebuah implosi, yakni ledakan ke dalam akibat terjadinya kontraksi nilai.
Fenomena ini dapat diamati melalui penampilan mahasiswa. Handphone bermerek, celana jins ketat, rambut rebonding, dan sepeda motor “keren” telah begitu identik dengan mereka. Akibat godaan yang datang terus-menerus, konsumsi jadi luapan ekspresi. Membeli menjadi keharusan yang sulit ditolak.
Mahasiswa memang arena bagi perebutan segenap ideologi. Konsumtifisme mewartakan pesannya melalui iklan dan fundamentalisme datang dengan berbagai gugatan. Negara, tak ketinggalan, menganjurkan ketaklidan melalui ritus dan selebrasi akademik yang mengharuskan ketaatan. Bronfenbrenner (1995) menyebut setiap pribadi dipengaruhi lima lapis lingkungan dari relasi interpersonal hingga pengaruh budaya internasional. Hanya sedikit “anak tangguh” yang bertahan pada keimanan, karena jalan itu ternyata sepi, gelap, dan berkelok.
Pragmatisme Akademik
Ketiga, yang kerap luput dari amatan, adalah ancaman pragmatisme akademik. Ancaman ini lahir karena tidak semua dosen mampu membangkitkan nalar kreatif mahasiswa. Ada dosen yang terlalu sibuk mengurusi karier pribadinya sehingga mengabaikan mahasiswa yang dititipkan kepadanya. Sementara kampus, secara institusional, kerap terjebak pada kebijakan makro yang tak membumi.
Ada dosen yang terlalu sibuk mengurusi karier pribadinya sehingga mengabaikan mahasiswa yang dititipkan kepadanya. Contoh paling kentara pragmatisme akademik dapat diamati ketika yudisium. Mahasiswa harus mengukur keberhasilan belajarnya dengan nilai A sampai E. A untuk sangat berhasil dan E untuk gagal total. Simplifikasi ini mengajak mahasiswa untuk memperoleh nilai A sebanyak-banyaknya. Minimnya penjelasan filosofis kerap membuat mahasiswa lupa baik A maupun E hanya petanda. Karena hanya bersifat representatif, esensi proses belajar tetaplah perubahan tingkat laku pembelajar.
Kerancuan mahasiswa baru membedakan nilai (point) dan nilai (value) bisa berakibat fatal karena bisa membawa akibat beruntun. Pertama, terjadi mispersepsi bahwa nilai (point) adalah sama dengan nilai (value). Kedua, mispersepsi membuat mahasiswa tidak tepat menyusun prioritas secara tepat. Pertanyaan “penting mana, nilai kuliah dengan kecakapan personal?” tidak mudah untuk dijawab dengan argumen yang tepat.
Peran Kampus
Lantas, di mana peran lembaga dalam problem identitas dan pragmatisme akademik pada mahasiswa? Kalaupun ada niat baik, infrastruktur untuk menjangkau persoalan batin ini tak tersedia. Hanya dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama yang 2 SKS di semester pertama, tentu saja tidak cukup. Justru Pusat Pengembangan Layanan Konseling dan Bursa Kerja (PPLK-BK) yang agaknya bisa memainkan peran segnifikan jika mampu menjangkau sebagian besar mahasiswa.
Para pakar pendidikan tinggi telah bersepakat pendidikan yang efektif memberikan kesempatan identitas personal berkembang. Namun, kesadaran ini tidak serta merta dapat diterjemahkan dalam mekanisme akademik. Akibatnya, persoalan personal kerap luput dari visi perguruan tinggi. Mahasiswa harus menyelesaikan sendiri atau menemukan komunitas yang tepat menghadapi gejolak personal yang dialaminya.
Karena itu, membangun komunitas kemahasiswaan yang sehat menjadi lebih menguntungkan. Teman sebaya, kata Shantrock (2009: 112), memainkan peran sosioemosional yang khusus karena mampu menyajikan informasi pembanding di luar keluarga dan sekolah. Hightower (1990) mengemukakan, hubungan teman sebaya yang harmonis berpengaruh menjaga kesehatan mental yang baik di usia paro baya.
–Surahmat, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes, Pemimpin Redaksi
Pertama, status sosial baru sebagai mahasiswa akan membawa konskuensi psikologis yang tidak kecil. Terlebih, status itu berkonskuensi pada tumpukan tanggung jawab individual dan sosial. Kemandirian sikap dan berpikir yang dituntut kampus dan lingkungan harus ditunjukkan ketika menghadapi persoalan akademik dan kehidupan. Hanya ada sedikit, menurut kalkulasi saya, dari ribuan mahasiswa baru yang dapat melewatinya dengan baik.
Ketika datang kali pertama, anak-anak muda ini terlihat bercahaya dalam kegairahan meraih masa depan. Namun satu atau dua tahun berikutnya, semangat akan bertumbangan. Kegairahan terkikis kebosanan akibat relasi asih-asuh di kampus yang (kadang) berubah mekanis. Mereka, kemudian, berganti mencari keasyikan; pada organisasi kemahasiswaan, kegiatan ekstrakurikuler, atau komunitas di luar kampus.
Sayangnya, tidak semua “jalan pelarian” baik dan etis dalam takaran sosiokultural masyarakat. Lingkungan baru yang apatis, pengawasan longgar dari kedua orang tua, berpotensi mengantar mereka pada kebebasan tak bertanggung jawab. Pola hidup “semau gue” adalah realitas paling mencolok mata.
Kedua, lingkungan kampus ternyata menawarkan godaan hedonistik yang tidak kalah menarik dengan kota metropolitan. Rayuan konsumtifisme akan datang siang dan malam melalui iklan. Keasyikan materalistis menawarkan kesenangan dari pagi hingga pagi kembali. Teman dan lingkungan terdekat yang memiliki gaya hidup konsumtif, diam-diam menciptakan sebuah implosi, yakni ledakan ke dalam akibat terjadinya kontraksi nilai.
Fenomena ini dapat diamati melalui penampilan mahasiswa. Handphone bermerek, celana jins ketat, rambut rebonding, dan sepeda motor “keren” telah begitu identik dengan mereka. Akibat godaan yang datang terus-menerus, konsumsi jadi luapan ekspresi. Membeli menjadi keharusan yang sulit ditolak.
Mahasiswa memang arena bagi perebutan segenap ideologi. Konsumtifisme mewartakan pesannya melalui iklan dan fundamentalisme datang dengan berbagai gugatan. Negara, tak ketinggalan, menganjurkan ketaklidan melalui ritus dan selebrasi akademik yang mengharuskan ketaatan. Bronfenbrenner (1995) menyebut setiap pribadi dipengaruhi lima lapis lingkungan dari relasi interpersonal hingga pengaruh budaya internasional. Hanya sedikit “anak tangguh” yang bertahan pada keimanan, karena jalan itu ternyata sepi, gelap, dan berkelok.
Pragmatisme Akademik
Ketiga, yang kerap luput dari amatan, adalah ancaman pragmatisme akademik. Ancaman ini lahir karena tidak semua dosen mampu membangkitkan nalar kreatif mahasiswa. Ada dosen yang terlalu sibuk mengurusi karier pribadinya sehingga mengabaikan mahasiswa yang dititipkan kepadanya. Sementara kampus, secara institusional, kerap terjebak pada kebijakan makro yang tak membumi.
Ada dosen yang terlalu sibuk mengurusi karier pribadinya sehingga mengabaikan mahasiswa yang dititipkan kepadanya. Contoh paling kentara pragmatisme akademik dapat diamati ketika yudisium. Mahasiswa harus mengukur keberhasilan belajarnya dengan nilai A sampai E. A untuk sangat berhasil dan E untuk gagal total. Simplifikasi ini mengajak mahasiswa untuk memperoleh nilai A sebanyak-banyaknya. Minimnya penjelasan filosofis kerap membuat mahasiswa lupa baik A maupun E hanya petanda. Karena hanya bersifat representatif, esensi proses belajar tetaplah perubahan tingkat laku pembelajar.
Kerancuan mahasiswa baru membedakan nilai (point) dan nilai (value) bisa berakibat fatal karena bisa membawa akibat beruntun. Pertama, terjadi mispersepsi bahwa nilai (point) adalah sama dengan nilai (value). Kedua, mispersepsi membuat mahasiswa tidak tepat menyusun prioritas secara tepat. Pertanyaan “penting mana, nilai kuliah dengan kecakapan personal?” tidak mudah untuk dijawab dengan argumen yang tepat.
Peran Kampus
Lantas, di mana peran lembaga dalam problem identitas dan pragmatisme akademik pada mahasiswa? Kalaupun ada niat baik, infrastruktur untuk menjangkau persoalan batin ini tak tersedia. Hanya dengan Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Agama yang 2 SKS di semester pertama, tentu saja tidak cukup. Justru Pusat Pengembangan Layanan Konseling dan Bursa Kerja (PPLK-BK) yang agaknya bisa memainkan peran segnifikan jika mampu menjangkau sebagian besar mahasiswa.
Para pakar pendidikan tinggi telah bersepakat pendidikan yang efektif memberikan kesempatan identitas personal berkembang. Namun, kesadaran ini tidak serta merta dapat diterjemahkan dalam mekanisme akademik. Akibatnya, persoalan personal kerap luput dari visi perguruan tinggi. Mahasiswa harus menyelesaikan sendiri atau menemukan komunitas yang tepat menghadapi gejolak personal yang dialaminya.
Karena itu, membangun komunitas kemahasiswaan yang sehat menjadi lebih menguntungkan. Teman sebaya, kata Shantrock (2009: 112), memainkan peran sosioemosional yang khusus karena mampu menyajikan informasi pembanding di luar keluarga dan sekolah. Hightower (1990) mengemukakan, hubungan teman sebaya yang harmonis berpengaruh menjaga kesehatan mental yang baik di usia paro baya.
–Surahmat, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unnes, Pemimpin Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar