Oleh: Prof.Dr.Sri Edi Swasono
Saat ini kemandirian
ekonomi nasional telah menjadi tuntutan riil. Ketergantungan pada keterdiktean
oleh pihak luar-negeri digugat sebagai penyelewengan mendasar dari cita-cita
kemerdekaan nasional, sekaligus memperpuruk martabat, prestise dan harga
diri bangsa. Platform nasional tentang pinjaman luar-negeri yang harus
bersifat “sementara” dan “pelengkap” tidak ditaati lagi.
Sejak
awal kemerdekaan, kemandirian sejati telah tegas digariskan sebagai cita-cita
nasional yang harus direalisasi, mewujudkan onafhangkelijkheid,
melepaskan diri dari ketergantungan. Selanjutnya pada awal Orde Baru, yang
mewarisi kebangkrutan ekonomi Orde Lama, telah muncul ide mengenai perlunya
kita memperoleh pinjaman dari luar-negeri untuk mengangkat perekonomian
Indonesia. Bersamaan dengan itu muncul pula gagasan tentang bagaimana kita
harus berhati-hati terhadap pinjaman luar-negeri. Misalnya di dalam penggarisan
Tracee Baru di awal Orde Baru (1966) yang digagas oleh Universitas
Indonesia, yang banyak dipelopori oleh tokoh-tokoh dari Fakultas Ekonomi,
sempat dikemukakan tentang syarat-syarat untuk menerima pinjaman luar-negeri,
yang intinya menyangkut bunga rendah (bukan altruisme) tidak mengikat dan
digunakan untuk pembiayaan projek-projek pembangunan ekonomi yang masing-masing
mampu mengembalikan sendiri hutang dan bunganya. Tracee Baru yang
digelar dan dipelopori orang-orang FEUI masih tegas-tegas mempertahankan
Deklarasi Ekonomi (sebagai acuan politik) yang intinya adalah politik ekonomi
“berdikari” atau “mandiri”.
Transformasi
Ekonomi dan Transformasi Sosial
Secara sadar sejak Indonesia merdeka
dan menetapkan UUD 1945 telah dengan tegas digariskan kebijaksanaan nasional
untuk melakukan “transformasi ekonomi” dan “transformasi sosial”. Dalam
kehidupan ekonomi makna transformasi ekonomi berhakikat “merubah sistem ekonomi
kolonial yang subordinatif menjadi sistem ekonomi nasional yang demokratis”.
Para pendiri Republik dengan sangat bijaksana dan hati-hati menghidari
kemungkinan terjadinya chaos dalam pelaksanaan transformasi ekonomi itu.
Oleh karenanya ditetapkan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945 yang berbunyi: “segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dengan demikian maka
berlakulah “dualisme” di dalam sistem ekonomi nasional. Sistem pertama
berdasarkan paham demokrasi ekonomi yang secara imperatif sesuai Pasal 33 UUD
1945 (yaitu paham ekonomi berdasar “kebersamaan dan asas kekeluargaan”, mutualism
dan brotherhood); dan sistem kedua berdasar paham individualisme atau
“asas perorangan” mengikuti ketentuan Wetboek van Koophandel (KUHD)
sesuai Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
Mengingat
berlakunya sistem kedua (yang berdasar pada “asas perorangan”) sesuai dengan
aturan yang bersifat “temporer” itu, maka di dalam menyusun sistem ekonomi
nasional “asas perorangan” (yang menjadi dasar liberalisme dan hidupnya kapitalisme)
seharusnyalah bersifat temporer pula. Dalam kaitan tugas transformasi ekonomi
ini maka Negara secara imperatif harus memiliki komitmen tegas untuk menyusun
perekonomian (kultur ekonomi dan bisnis) ke arah paham ekonomi yang berdasar
pada “usaha bersama dan asas kekeluargaan”, kemudian menanggalkan paham ekonomi
yang berdasar pada “asas perorangan”. Dengan kata lain, transformasi ekonomi
berarti secara bertahap kita mem-Pasal 33-kan KUHD.
Ada
alasan hukum, yaitu masih dipertahankan berlakunya asas perorangan sesuai
ketentuan Aturan Peralihan (Ayat II) UUD 1945, yang juga mengakibatkan kita
mudah bersambung dan terdikte oleh kekuatan ekonomi dari luar yang berdasarkan
individualisme, liberalisme dan kapitalisme, yang saat ini dengan deras di bawa
oleh gelombang globalisasi. Sementara itu sistem ekonomi pasar-bebas (berdasar market
fundamentalism) adalah sistem yang memelihara dan mempertahankan tuntutan
kultur ekonomi kapitalisme dahsyat yang eksploitatori dan predatori.
Dalam pada itu keterdiktean, ketertundukan,
ketakmandirian dan ketergantungan ekonomi terus berkelanjutan dengan tetap
langgengnya budaya ekonomi subordinasi, yang mempertahankan hegemoni ekonomi
dan menumbuhkan dependensi baru.
Hubungan ekonomi subordinasi tuan-hamba, taoke-koelie
atau juragan-buruh (suatu economic slavery system sebagaimana
berlaku pada zaman usaha VOC, pasca VOC, cultuurstelsel dan pasca cultuurstelsel)
secara imperatif perlu kita ubah menjadi hubungan ekonomi yang demokratis,
yaitu hubungan ekonomi yang partisipatori-emansipatori. Inilah transformasi
sosial yang harus kita lakukan. PIR (Perkebunan Inti Rakyat) adalah cultuurstelsel
baru. PIR bukan lagi sesuai dengan NES (Nucleus Estate Small-Holders)
sebagai model empowerment aslinya, di mana inti seharusnya dimiliki
(sebagian/seluruhnya) oleh plasma, di mana hubungan keduanya adalah
kebersamaan, inti tidak mensubordinasi plasma seperti
kenyataannya sekarang.
Transformasi sosial ini tidak mudah terlaksana.
Transformasi sosial ternyata harus menempuh suatu proses budaya melalui
pertentangan kepentingan sosial-ekonomi, dari yang keras terbuka hingga ke yang
subtil, berhadapan dengan budaya feodalistik (patronisasi) dan servilisme
(keinlanderan) yang tidak mendukungnya. Dalam kaitan dengan percaturan ekonomi
antar negara hubungan ekonomi subordinasi sangat diwarnai oleh persistensinya inferiority
complex bangsa ini, suatu budaya hidup yang tidak cerdas, penuh rasa
minder, ketertundukan dan kekaguman kepada yang serba Barat dan asing. Dengan
makin melunturnya nasionalisme, maka hubungan ekonomi subordinasi ini hidup
kembali dan sekaligus makin memperpuruk bangsa Indonesia.
Apakah keterpurukan seperti yang disinggung di atas
berarti pula bangsa ini telah mengingkari “nasionalisme” sebagai kekuatan
dahsyat yang inherent dan aktual, sebagai penggerak utama perkembangan
ekonomi nasional, sebagaimana ditegaskan sebagai suatu kenyataan riil oleh Joan
Robinson, Leah Greenfeld, Ian Lustic dst
sebagaimana saat ini tetap merupakan kenyataan riil? Nasionalisme baru tetap menolak
dependensi, namun mendorong interdependensi global, dengan tetap mengutamakan
kepentingan nasional tanpa mengabaikan tanggung jawab global.
Strukturalisme
Ekonomi: Paradigma Baru
Keterpurukan
Indonesia tidak terlepas dari peran kelompok meanstream yang saat ini
mendominasi pemikiran kaum ekonom Indonesia, padahal basis teori neoklasikal
yang melandasi pemikiran mereka saat ini terperangkap ke dalam konservativisme
dan konvensionalisme ekonomi, yang boleh dibilang makin obsolit dan ortodoks.
Konservatisme
dan ortodoksi ilmu ekonomi mainstream telah dengan keras ditentang oleh
kaum strukturalis yang telah membuktikan asumsi dasar ekonomi neo-klasikal yang
berdasar self-interest tidak lagi valid, bahkan telah membentukkan
akhlak ekonomi yang makin jauh dari hakikat ilmu ekonomi sebagai a moral
science. Dari asumsi itu telah terjadi suatu self-fulfilling prophesy
yang menciptakan mindset ekonomi dan membentuk para pelaku ekonomi
benar-benar menjadi homo-economicus, meninggalkan moralitasnya sebagai homo-ethicus.
Ilmu ekonomi akhirnya berada dalam suatu berantakan (turmoil). Fundamentalisme pasar, sebagai
inherensi asumsi dasar self-interest, mempergiat keterjerumusan ini. Kelompok mainstream menjadi
identik dengan kelompok market fundamentalists.
Tantangan
kita adalah tantangan budaya, yaitu merombak paradigma obsolit dalam pemikiran
ekonomi untuk membentuk suatu mindset ekonomi baru yang menjamin
kemandirian.
Pandangan strukturalistik yang diungkapkan oleh John
Kenneth Galbraith, kiranya baik untuk
mengawali titik-tolak tentang kelemahan ekonomi pasar. Galbraith menyatakan
bahwa internasionalisasi modal, produksi dan perdagangan yang bebas sebagai
wujud utama dari globalisasi, akan menimbulkan pemberdayaan ekonomi dan
politik (empowerment) bagi kalangan
aktor ekonomi yang mampu atas korban the
underclass, yaitu golongan kelas bawah yang hidup dalam ekonomi rakyat.
Paham
strukturalisme, baik strukturalisme awal maupun neostrukturalisme, adalah
paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan
sosial-ekonomi. Kaum strukturalis mengungkapkan dan mengusut ketimpangan-ketimpangan
struktural yang berkaitan pemusatan penguasaan dan pemilikan aset ekonomi,
ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi.
Kepedulian akademik-ilmiah pemikir strukturalis meliputi pula masalah
ketimpangan dalam kelembagaan, partisipasi dan emansipasi sosial-ekonomi,
pengangguran, kemiskinan struktural dan masalah ketergantungan serta
subordinasi sosial-ekonomi.
Kaum
strukturalis menempatkan ilmu ekonomi pada peran normatifnya, menjelajahi
komposisi dan interrelasi antara para aktor, sektor-sektor dan
variabel-variabel ekonomi dalam rangka perwujudan keadilan dan kesetaraan
sosial-ekonomi. Apabila strukturalisme cenderung menolak mekanisme pasar-bebas
adalah karena pasar-bebas secara inheren menumbuhkan ketidakadilan
sosial-ekonomi. Demikian itulah maka strukturalisme banyak menggelar
tuntutan transformasi ekonomi dan transformasi sosial yang harus dianggap inherent
dalam proses pembangunan nasional. Dalam kaitannya dengan ancaman dominasi
dan hegemoni kekuatan ekonomi global, maka dapatlah dipahami bahwa strukturalisme
berkaitan erat dengan nasionalisme ekonomi.
Kelompok
ekonomi “moneteris” kebanyakan beranjak dari pemikiran neoklasikal (market
fundamentalism), sedangkan kelompok ekonomi “sektor riil” lebih dekat dan
memahami pemikiran, tetapi tidak selalu rukun dengan, kaum strukturalis.
Selanjutnya
kaum strukturalis, yang mengoreksi kelemahan mendasar dari mekanisme pasar
dan persaingan-bebas, dengan makin bergeloranya globalisasi dengan kapitalisme
globalnya, makin gencar pula menunjukkan kebenaran analitik dan bukti-bukti
empirik, betapa globalisasi perlu benar-benar diwaspadai. Kaum strukturalis
mulai menggunakan istilah-istilah keras untuk menyentak mindset neoklasikal, seperti “global capitalism”, “turbo capitalism”, “new imperialism”, “cowboy capitalism”,
“Old West capitalism”, “the dangerous currents”, “the winner-take-all market”, “the
zero-sum society”, “the
winner-take-all society”, dst. Jan Tinbergen mengatakan kepada saya (1992)
bahwa lobang ozone makin besar karena kelakuan “the greedy capitalism”.
Dalam platform Club of Rome, lebih lanjut Tinbergen mengatakan bahwa “the limits to growth”
dalam 20 tahun menjadi “beyond the
limits” karena kerakusan kapitalisme global.
Kaum
strukturalis tidak saja menunjukkan kelemahan (parsialitas) ekonomi
neoklasikal, tetapi juga mengoreksi dan bahkan menolak asumsi dasarnya.
Kegagalan pasar dan ketidaksempurnaan pasar dalam mewujudkan the invisible hand (yang diabaikan oleh
kaum market fundamentalists) adalah yang salah satunya, tidak terselesaikannya
micro-macro rift
adalah yang lainnya, sehingga efisiensi ekonomi yang dikembangkan berdasar
tataran mikro tidak klop, bahkan bisa bertentangan dengan efisiensi ekonomi
pada tataran makro.
Ekonomi
neoklasikal berdasar mekanisme persaingan pasar-bebas terbukti tidak mampu mengatasi
ketimpangan-ketimpangan struktural untuk terlaksananya transformasi ekonomi
dan transformasi sosial yang bermakna. Oleh karena itu strukturalisme
berorientasi pada strukturisasi dan restrukturisasi ekonomi disertai intervensi
mengatur dan mengontrol mekanisme pasar. Kelemahan mekanisme pasar-bebas
dalam perwujudan demokrasi ekonomi adalah (istilah saya) mungkin sekadar
mampu menghasilkan “nilai-tambah ekonomi”
tetapi tidak menjamin dapat menyumbangkan “nilai-tambah sosio-kultural”
(menjangkau makna partisipasi dan emansipasi kemartabatan), dan pula timpangnya struktur kekuasaan
ekonomi, telah menjadi tema-tema utama dalam pemikiran ekonomi strukturalis.
Strukturalisme
peduli akan harkat manusia dalam lingkup moralitas ekonomi. Strukturalisme
menolak homo economicus yang
melahirkan akhlak homo homini lupus,
menolak eksploitasi, pelumpuhan (disempowerment) dan pemiskinan (impoverishment) sosial-ekonomi. Apabila ekonomi neoklasikal berorientasi pada
pertumbuhan (growth), maka ekonomi
strukturalis lebih mengutamakan masalah redistribusi dan lapangan kerja (employment). Boleh dibilang, sebagai
upaya mengubah mindset atau pakem ekonomika, awal dari strukturalisme
terutama adalah pemikiran ke arah “it is employment that will take care of growth”.
Bagi
Indonesia, pemikiran-pemikiran
strategis, cermat dan mendalam mengenai ketimpangan-ketimpangan struktural
harus tetap dikembangkan. Hanya dengan demikian maka kebijakan restrukturisasi
untuk mengatasi ketimpangan struktural dapat didesain. Saya menawarkan
beberapa butir kebijakan restrukturisasi ekonomi dalam artian reformasi makro
yang meliputi berbagai sektor, bidang dan dimensi a.l. seperti berikut: (1)
Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan aset ekonomi: Pemilikan dan
penguasaan aset oleh rakyat harus makin merata dan dapat mengurangi secara
struktural konsentrasi-konsentrasi pemilikan dan penguasaan aset pada
sekelompok kecil aktor-aktor ekonomi. Setiap usaha ekonomi harus dapat
meningkatkan pemilikan bukan sekadar meningkatkan pendapatan
masyarakat secara merata. Restrukturisasi ini diarahkan untuk membentukkan “Triple-Co”,
yaitu co-ownership, co-determination dan co-responsibility sebagai
implementasi demokratisasi ekonomi di dalam badan-badan usaha ekonomi (lihat
Bagan II). Dalam restrukturisasi ini hendaknya dihindarkan suatu perampasan
seperti ("savage acquisition",
"cannibal redistribution"
atau "wild take-over"). (2)
Restrukturisasi alokatif: Menyangkut alokasi dana-dana pembangunan, baik dana
anggaran nasional ataupun daerah, baik yang
berasal dari perbankan ataupun
dari lembaga-lembaga non-bank. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan non-bank
harus tetap memelihara perannya sebagai
agen pembangunan, agen reformasi dan agen restrukturisasi ke arah tercapainya
keseimbangan struktural yang lebih baik. (3) Restrukturisasi spasial (spatial): Restrukturisasi ini diperlukan antara lain untuk
mencapai pemerataan dan keseimbangan pembangunan serta pertumbuhan antara
kawasan barat Indonesia dan kawasan timur Indonesia, antara Jawa dan luar
Jawa, antara perkotaan dan perdesaan, dan seterusnya. (4) Restrukturisasi
sektoral: Hal ini diperlukan terutama untuk mencapai keseimbangan dinamis
antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor formal-modern
dan sektor informal-tradisional, antara sektor-sektor yang grassroots-based dan
yang nongrassroots-based, menuju kukuhnya perekonomian rakyat (dengan
wadah koperasi) sebagai sokoguru perekonomian nasional. (5) Restrukturisasi
perpajakan: Selain berperan sebagai sumber penerimaan negara, pajak adalah sarana redistribusi. Pada dasarnya
pajak harus progresif untuk mempersempit kesenjangan. Khususnya terhadap
kekayaan dan pemilikan barang mewah harus dikenakan pajak kekayaan secara
progresif. Sebaliknya terhadap kelompok miskin yang memerlukan pemberdayaan
diberikan subsidi atau proteksi. Pajak merupakan insentif untuk kegiatan
produktif dan disinsentif terhadap konsumsi mewah. (6) Restrukturisasi strategis:
Restrukturisasi ini untuk memperkukuh kemandirian ekonomi, mengurangi dependensi
dan meningkatkan interdependensi resiprokal yang seimbang dan diperlukan
untuk memperkukuh fundamental ekonomi. Dengan restrukturisasi strategis ini
perekonomian nasional diarahkan untuk berakar di dalam-negeri dan menjadi people-centered
dan resources-based. (7) Restrukturisasi
pola-pikir atau reorientasi budaya: GBHN telah mendorong reorientasi semacam
ini, yakni antara lain reorientasi ke arah lebih banyak membuka akses akan
hak-hak rakyat dan mengembangkan perekonomian rakyat melalui sistem ekonomi
berdasar demokrasi ekonomi. (8) Restrukturisasi sosial-politik dan
sosial-budaya: Restrukturisasi ekonomi ini
tidak akan sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh restrukturisasi
di bidang sosial-politik dan sosial-budaya. Restrukturisasi sosial-politik
menyangkut demokratisasi politik dan peran masyarakat madani. Restrukturisasi
sosial-budaya menyangkut upaya mengubah mindset, melakukan unlearning terhadap pakem-pakem usang,
khususnya restrukturisasi dan demokratisasi pendidikan rakyat.
Sementara itu Sritua Arief salah satu
tokoh strukturalis utama Indonesia mengecam ilmu ekonomi neoklasikal yang
menjadi roh globalisasi, dengan menegaskan bahwa ia menentang segala sesuatu
yang berkaitan dengan pasar-bebas dalam ruang lingkung internasional yang tidak
adil dan bahwa pasar harus di intervensi.
Saya
sendiri telah memberikan gambaran betapa kita harus mewaspadai globalisasi
meskipun kita tidak harus menolaknya, saya kemukakan paling tidak ada tiga
kelompok yang mempunyai pandangan berbeda mengenai globalisasi yang harus kita
perhatikan dengan cermat: (1) Kelompok pengagum; (2) Kelompok kritis dan
obyektif; (3) Kelompok yang menolak.
Saya sendiri cenderung untuk memihak kelompok ketiga dalam arti mewaspadai dan
bersikap sangat hati-hati terhadap kelompok pertama dan kedua.