Minggu, 11 Agustus 2013

Larangan Memakan Riba dalam Islam

Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larang supaya umat islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an dan hadis rasulullah SAW. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keharamanya, sebab hal ini telah di tetapkan berdasarkan nash al-quran dan sunnah rasulullah SAW, ijma’ (consensus) kaum muslimin, termasuk madzhab yang empat.   
Tahapan Pelarangan Riba dalam al-Qur’an
Larang riba yang terdapat dalam al quran tidak diturunkan sekaligus melaikan diturunkan dala empat tahap.
- Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqqoruf kepada allah SWT. Itu di dalam surah Ar-Ruum ayat 39.
- Tahap kedua riba digambarkan sebagai sesuatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba. Itu di dalam surah an-nisaa ayat 160-161.
- Tahap ketiga, riba di haramkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupan fenomena yang banya dipraktikan pada masa tersebut. Allah berfirma dalam surah ALI-IMRAN ayat 130.
- Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. Dalam surah AL-BAQARAH ayat 278-279.

Larangan Riba dalam Hadis
Pelarang riba dalam islam tidak hanya merujuk pada al qur’an melainkan juga al hadis. Hal ini sebagaimana posisi umum hadis yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang tel;ah digariskan melalui al qur’an pelarang riba dalam hadis lebih terperinci. Dalam amanatnya pada tanggal 9 dzulhijjah tahun 10 hijriah, rasuluallah saw. Masih menekankan sikap islam yang melarang riba.
“ingatlah bahwa kamu akan memghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung amalmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena itu, modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tudak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.

Riba yang dimaksud Al-Quran
Kata riba dari segi bahasa berarti “kelebihan”. Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti “kelebihan” tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan “Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkanriba” (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya “sesuatu” yang membedakannya, dan “sesuatu” itulah yang menjadi penyebab keharamannya.
Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-Nisa’, dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah “Madaniyyah” (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah “Makiyyah” (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah Al-Rum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah …
Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba, yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman.
Selanjutnya Al-Zanjani, berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa’i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali ‘Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa’. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali ‘Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa’ yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba.
Menurut Al-Maraghi dan Al-Shabuni, tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa’: 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali ‘Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278).
Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.
Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa’ 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali ‘Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh’afan mudha’afah. Ayat Ali ‘Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat Al-Rum 39.
Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi  dan Ibn Al-’Arabi  menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.  Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu ‘Abbas dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai “hadiah” yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih.
Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan  menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mush-haf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali’ Imran 131.
Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali ‘Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh’afan mudha’afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru’usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun.
Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, “apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram”.
(Sandy Purnomo/12520108)

Tidak ada komentar: